Oleh: Syamsul A. Hasan
(Umana’ Ma’had Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur)
“Kita ikuti prinsip sapu lidi; untuk membersihkan kotoran harus bersatu padu, bukan terpisah-pisah. Kalau kita jadi satu barisan, satu kekuatan; apa yang tidak bisa kita lakukan?”
ADVERTISEMENT
![]()
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu dawuh Kiai Fawaid, lembut namun tegas, pendek namun dalam, ibarat hujan yang membasuh debu dalam jiwa. Bagi yang mau merenung, ini bukan sekadar perumpamaan. Ia adalah ajakan untuk menyelami makna persatuan—bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam batin, niat, dan perjuangan.
Sapu lidi—alat sederhana yang kerap tergeletak di sudut rumah—menyimpan filosofi kehidupan yang sering terlupakan. Lidi yang kecil dan ringan tak berarti apa-apa bila berdiri sendiri. Ia mudah patah, tak mampu membersihkan apapun. Namun saat lidi-lidi itu disatukan oleh satu ikatan, ia menjelma menjadi alat yang kuat, mampu membersihkan halaman, mengusir kotoran, dan menebar rapi. Di situlah letak kekuatannya—bukan karena keistimewaan satu lidi, tetapi karena kebersamaan.
Dawuh ini mengandung pesan psikologis yang amat dalam. Dalam dunia psikologi sosial, manusia diibaratkan makhluk kolektif. Kita tidak dirancang untuk hidup terpisah, apalagi berjalan sendiri dalam menghadapi beban hidup. Kita butuh rasa memiliki, tempat untuk berpaut, dan jiwa-jiwa lain yang menguatkan. Sendiri, kita lemah. Bersama, kita kuat. Inilah yang oleh para psikolog disebut sense of belonging—rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Kiai Fawaid mengingatkan kita bahwa ketahanan mental dan emosional bukan dibangun dalam ruang sepi, melainkan dalam perjumpaan. Seperti para santri di pesantren yang datang dari berbagai daerah, latar belakang, dan watak. Mereka tidak dilatih untuk unggul sendirian, tetapi untuk berjalan dalam barisan. Dalam khidmah, dalam ilmu, dalam kesetiaan kepada guru, dan dalam cita-cita bersama. Maka, pesan beliau adalah roh pemersatu. Dawuh itu menjadi tali yang menyambung hati-hati yang mungkin sebelumnya terpisah oleh latar dan ego.
Namun kebersamaan tidak cukup hanya dengan jumlah. Lidi-lidi itu takkan berguna tanpa ikatan. Dalam masyarakat, ikatan itu adalah nilai. Ia bisa berupa kasih sayang, visi hidup, kepercayaan, atau pemimpin yang adil dan arif. Dan dalam banyak hal, Kiai Fawaid adalah pengikat itu sendiri. Sosok yang menyatukan, bukan sekadar dengan kata, tapi dengan keteladanan dan kasih yang tak bersyarat. Di bawah naungannya, perbedaan melebur dalam satu tujuan: membangun umat dengan ilmu dan cinta.
Di tengah zaman yang serba cepat dan kompetitif, kita cenderung menarik diri. Masing-masing berlari mengejar impian sendiri. Kita lupa, bahwa dalam kesendirian yang panjang, manusia bisa kehilangan arah. Maka dawuh ini adalah tamparan halus bagi jiwa-jiwa yang mulai lelah berjuang sendiri. Ia memanggil kita untuk kembali membentuk barisan, menggenggam tangan satu sama lain, dan melangkah serempak ke arah kebaikan.
Lebih dari itu, dawuh ini adalah seruan spiritual. Bahwa dalam kebersamaan, ada keberkahan. Dalam hadis disebutkan, yadullāhi ma‘al-jamā‘ah—tangan (pertolongan) Allah bersama kebersamaan. Maka bersatu bukan hanya strategi sosial, tetapi jalan menuju ridha-Nya. Setiap langkah bersama membawa cahaya. Setiap kerja kolektif membuka pintu langit.
Pada akhirnya, dawuh Kiai Fawaid bukan hanya menyentuh pikiran, tapi juga mengetuk pintu hati. Ia mengingatkan kita bahwa dalam hidup ini, kita semua adalah lidi-lidi kecil yang rapuh. Tapi saat disatukan dalam ikatan cinta, iman, dan tujuan bersama, kita bisa menjadi sapu yang membersihkan, merapikan, bahkan mengubah dunia. Jika kau merasa lemah, kecil, atau tak berguna, ingatlah sapu lidi. Dalam kesatuan, ada kekuatan. Dalam kebersamaan, ada kemenangan. Sebab, apa yang tak bisa kita lakukan jika kita bersatu?
Sukorejo, 29 Mei 2025