Oleh Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Jatimaktual.com, Jakarta – Badan Pengelola Investasi Danantara, lembaga baru yang dibentuk negara untuk mengelola aset publik, mendapatkan penyerahan (imbreng) aset negara senilai Rp16.000 triliun. Aset itu terdiri dari kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan aset negara lainnya. Dengan nilai fantastis tersebut, Danantara langsung melaju, merekrut para profesional berkelas dan penasehat internasional, serta menempatkan dirinya sebagai motor baru investasi negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di sisi lain, kita menyaksikan nasib yang amat berbeda dialami oleh Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) — atau yang sering disebut Kopdes. Program yang semula digadang-gadang sebagai instrumen ekonomi rakyat ini ternyata hanya berjalan di tataran retorika.
Sistem permodalannya tidak disokong oleh penyertaan negara atau imbreng sepetti Danantara, melainkan sekadar disuruh mengajukan pinjaman ke Bank BUMN. Janji pemerintah untuk menyalurkan barang publik melalui jalur koperasi seperti pupuk bersubsidi, gas subsidi, atau distribusi pangan strategis hingga kini belum juga tampak tanda-tanda realisasinya.
Kesenjangan ini menunjukkan arah kebijakan ekonomi nasional yang semakin menjauh dari semangat konstitusi. Negara tampak begitu bersemangat mendirikan lembaga baru dengan format korporatis yang elitis, tetapi abai memperkuat instrumen ekonomi rakyat yang sudah terbukti tahan krisis, demokratis, dan berakar di desa-desa.
Kebijakan investasi negara melalui Danantara memperlihatkan wajah baru dari kapitalisme negara. Aset-aset publik yang semestinya menjadi milik rakyat dialihkan pengelolaannya kepada entitas profesional yang beroperasi dengan logika korporasi global. Pemerintah lupa bahwa fondasi sosial-ekonomi kita bukanlah kapitalisme pasar, melainkan demokrasi ekonomi sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945.
Di sinilah letak paradoks kebijakan. Ketika negara begitu cepat dan serius menyiapkan payung hukum, struktur kelembagaan, hingga jaminan aset bagi lembaga seperti Danantara, pada saat yang sama ia memperlakukan gerakan koperasi rakyat seperti proyek musiman yang tidak diprioritaskan. Padahal, jika semangat konstitusi hendak dihidupkan, mestinya koperasi rakyatlah yang menjadi lokomotif investasi nasional.
Apa yang dilakukan terhadap Koperasi Desa Merah Putih justru menegaskan bias paradigma yang masih kuat di kalangan pembuat kebijakan. Koperasi dianggap sebagai entitas kelas dua, bukan bagian dari strategi pembangunan utama. Negara tampak lebih percaya pada mekanisme pasar dan korporasi besar untuk menggerakkan ekonomi, bukan pada rakyat yang bersatu dalam bentuk koperasi.
Program Koperasi Desa Merah Putih sejatinya memiliki potensi besar jika dijalankan secara serius. Ia bisa menjadi wadah bagi konsolidasi ekonomi petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro di pedesaan. Dengan jaringan yang kuat dan dukungan kebijakan afirmatif, koperasi desa dapat mengembalikan kedaulatan ekonomi ke tangan rakyat.
Sayangnya, hingga kini, KDMP lebih tampak sebagai program populis dan bombastis. Pemerintah menampilkan jargon kemandirian desa dan ekonomi rakyat, tetapi tidak memberikan dukungan struktural yang memadai. Tanpa penyertaan modal negara, tanpa jaminan akses terhadap barang publik, dan tanpa perlakuan fiskal yang adil, koperasi desa hanya akan menjadi pelengkap pidato.
Populisme ekonomi semacam ini sering kali hanya berfungsi untuk menenangkan kritik publik terhadap ketimpangan. Padahal, yang dibutuhkan adalah kebijakan nyata yang menempatkan koperasi sebagai aktor utama pembangunan. Negara seharusnya belajar dari sejarah: koperasi bukan sekadar alat bantu sosial, melainkan wadah ekonomi alternatif yang mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan secara berkelanjutan.
Perlakuan berbeda antara Danantara dan KDMP menunjukkan bahwa negara sedang memperdalam ketimpangan struktural dalam pengelolaan ekonomi nasional. Ketika sumber daya publik dengan mudah diserahkan kepada lembaga investasi yang beroperasi dengan logika pasar, sementara lembaga rakyat seperti koperasi harus berjuang sendiri mencari pinjaman ke bank, maka jelas bahwa demokrasi ekonomi hanya tinggal slogan.
Lebih ironis lagi, koperasi sering diminta menanggung fungsi sosial tanpa diberi dukungan ekonomi yang layak. Pemerintah menugasi koperasi mengurus pupuk bersubsidi, distribusi gas, hingga pengadaan pangan, tetapi tanpa infrastruktur keuangan yang memadai. Sementara itu, entitas korporatis seperti BUMN dan Danantara justru menikmati fasilitas istimewa: injeksi aset, insentif fiskal, dan akses jaringan global.
Inilah wajah ketimpangan baru dalam ekonomi nasional. Ketimpangan antara negara korporat dan rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi ekonomi bangsa.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Aset negara dan cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Semangat itu kini tergerus oleh dominasi paradigma kapitalisme negara, yang menempatkan rakyat hanya sebagai penonton.
Jika Danantara dibiarkan menjadi simbol baru kapitalisme negara, sementara koperasi terus dipinggirkan, maka kita sedang berjalan menjauh dari cita-cita pendiri bangsa. Negara tidak lagi berperan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai korporasi raksasa yang bersaing dalam arena pasar global.
Bahkan fungsinya justru memelintir leher rakyat.
Kita membutuhkan koreksi besar terhadap arah kebijakan ekonomi nasional. Negara harus menyeimbangkan kembali prioritasnya bukan hanya mendukung lembaga yang menjanjikan keuntungan finansial, tetapi juga memperkuat basis ekonomi rakyat yang menjadi fondasi kedaulatan bangsa.
Tanpa itu, ekonomi rakyat akan terus tersingkir, dan “Koperasi Merah Putih” akan tinggal nama yang dikibarkan di atas mimbar, tanpa isi dan makna.***