PPG: Antara Standardisasi dan Stigmatisasi – Mengapa Banyak Guru Gagal Lolos dalam Sistem yang Tidak Mendidik?

Gmnstiar R.

Senin, 6 Oktober 2025 - 10:12

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Wildan Miftahussurur, MahasiswaPascasarjana IAI At-Taqwa

Jatim Aktual, Pendidikan — Setiap kali hasil seleksi Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) diumumkan, gelombang keluhan dari ribuan guru memenuhi ruang-ruang media sosial. “Saya sudah mengabdi dua puluh tahun, tapi tetap tidak lolos.” Ungkapan seperti ini bukan sekadar kekecewaan personal, melainkan potret luka struktural dalam politik pendidikan Indonesia. Negara menggagas PPG dengan misi profesionalisasi guru, namun yang terjadi justru adalah birokratisasi pendidikan yang kering dari ruh pedagogis.

Standardisasi yang Menyempitkan Makna Profesionalisme

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Secara teoritik, PPG dimaksudkan untuk memastikan guru memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Namun dalam praktiknya, PPG justru terjebak dalam logika technocratic rationality—sebuah istilah yang diangkat oleh Jürgen Habermas untuk menggambarkan ketika sistem administratif mengalahkan rasionalitas komunikatif. Guru akhirnya bukan lagi subjek dialog pendidikan, tetapi objek evaluasi negara.

PPG telah bergeser dari ruang pembinaan menjadi ruang penilaian. Guru diukur dengan skor, bukan dengan semangat belajar; diseleksi dengan tes daring, bukan dengan praktik mengajar di lapangan. Padahal, seperti dikemukakan oleh John Dewey dalam Democracy and Education (1916), pendidikan adalah proses sosial yang tidak bisa direduksi menjadi instrumen teknis. Ketika pendidikan berubah menjadi sistem sertifikasi, maka yang lahir bukan guru reflektif, melainkan pegawai yang patuh pada mekanisme.

BACA JUGA :  Sidang PJU vs TMB, Pengadilan Komitmen Tegakkan Keadilan

Dari Pendidikan ke Prosedur: Paradoks Politik Kebijakan

Dalam perspektif politik kebijakan, PPG memperlihatkan bagaimana kebijakan pendidikan kerap tersandera oleh rasionalitas proyek. Di atas kertas, PPG menekankan mutu dan profesionalitas. Namun dalam praktik, ia menjadi instrumen baru bagi negara untuk menertibkan guru dalam kerangka birokrasi. Michel Foucault menyebut proses ini sebagai bentuk disciplinary power: kekuasaan yang bekerja melalui mekanisme administrasi, sertifikasi, dan penilaian diri. Guru diawasi bukan oleh kepala sekolah, melainkan oleh sistem.

Ketika profesionalisme guru diukur lewat sertifikat, maka pengetahuan pedagogik berubah menjadi komoditas. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, sertifikat PPG menjadi capital symbolique—simbol legitimasi yang menentukan siapa yang “sah” disebut guru profesional dan siapa yang tidak. Akibatnya, muncul kelas sosial baru dalam dunia pendidikan: guru bersertifikat dan guru yang “belum naik kelas.” Inilah bentuk stigmatisasi modern yang tidak kasat mata namun nyata dampaknya.

Ketimpangan Struktural dan Bias Kota

Masalah paling akut dalam pelaksanaan PPG adalah ketimpangan akses. Guru di daerah terpencil kesulitan mengikuti pelatihan daring karena keterbatasan jaringan, biaya, dan pendampingan. Namun sistem menilai mereka dengan ukuran yang sama seperti guru di kota besar. Di sinilah terjadi epistemic injustice—ketidakadilan pengetahuan—sebagaimana dikemukakan oleh Miranda Fricker: pengalaman guru daerah tidak diakui karena sistem hanya mengenal satu bentuk kompetensi, yaitu yang sesuai dengan model perkotaan.

BACA JUGA :  Mahasiswa Soroti Pungli dan Narkoba, Kapolres Pasuruan Kota Tegaskan Komitmen Transparansi

Banyak guru gagal bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem gagal menciptakan keadilan belajar. Negara menuntut kesetaraan hasil tanpa menyediakan kesetaraan kesempatan. Ini adalah bentuk kegagalan kebijakan yang secara struktural menindas guru di pinggiran. Dalam konteks ini, PPG seharusnya dibaca bukan hanya sebagai kebijakan pendidikan, tetapi sebagai politik representasi: siapa yang dianggap “berilmu” dan siapa yang tidak diakui suaranya dalam sistem pengetahuan negara.

Krisis Nilai dan Kehilangan Ruh Pendidikan

Dalam kacamata Maqasid Syariah, kebijakan PPG belum mencerminkan prinsip hifz al-‘aql (penjagaan akal) dan hifz al-nafs (penjagaan nilai jiwa kemanusiaan). Guru seharusnya ditempatkan sebagai subjek yang berdaya, bukan obyek pengukuran. Pendidikan Islam menempatkan guru dalam posisi murabbi—pendidik yang menumbuhkan jiwa dan akal, bukan sekadar penyampai materi. Ketika sistem hanya menilai guru lewat tes, maka makna pendidikan sebagai tazkiyah al-nafs (penyucian diri) dan tanmiyah al-‘aql (pengembangan akal) lenyap dari kebijakan.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menyebut model pendidikan yang menindas sebagai banking system of education—di mana guru atau murid menjadi wadah yang diisi, bukan subjek yang berpikir. Ironisnya, PPG yang seharusnya membebaskan guru dari kebodohan struktural justru menjerat mereka dalam sistem evaluasi yang mematikan daya kritis.

Membangun Ulang Paradigma PPG

Solusi terhadap persoalan ini tidak bisa berhenti pada revisi teknis. Diperlukan perubahan paradigma dari standardization menuju contextualization. Pertama, pemerintah harus mengakui keragaman konteks sosial guru Indonesia. PPG di daerah 3T tidak bisa disamakan dengan di Jawa. Pembinaan berbasis mentorship dan peer learning lebih relevan daripada sekadar ujian daring.

BACA JUGA :  Respon Cepat, Kanit Lantas Polsek Senapelan Bantu Pungut Cabe Pedagang Berserakan Di Jalan

Kedua, penilaian harus bergeser dari sekadar output testing menuju reflective practice, sebagaimana ditegaskan Donald Schön dalam The Reflective Practitioner (1983): profesional sejati adalah mereka yang belajar dari tindakan, bukan dari skor ujian. PPG seharusnya menjadi ekosistem pembelajaran berkelanjutan, bukan arena seleksi satu kali.

Ketiga, pemerintah mesti menata ulang politik anggaran pendidikan. PPG tidak boleh menjadi proyek yang menguntungkan segelintir LPTK. Dana publik harus diarahkan pada peningkatan kualitas pendampingan, penelitian tindakan kelas, dan pembentukan komunitas belajar guru lintas wilayah.

Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa profesionalisme sejati bukan dilahirkan oleh sertifikat, tetapi oleh keikhlasan dan kecerdasan yang terus ditempa. Negara boleh menetapkan standar, tetapi tidak boleh mematikan kemanusiaan guru di balik angka-angka. Pendidikan yang sejati adalah dialog antara akal dan hati, bukan daftar centang dalam formulir sertifikasi.

Sejarah pendidikan Indonesia telah membuktikan: guru yang membangun bangsa bukan mereka yang disertifikasi oleh sistem, melainkan mereka yang disucikan oleh pengabdian. Jika PPG ingin menjadi alat kemajuan, maka ia harus kembali menjadi program pembinaan yang mendidik, bukan sistem yang menstigmatisasi.

Penulis : Wildan Miftahussurur

Editor : Rifky Gimnastiar

Follow WhatsApp Channel jatimaktual.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bamsoet Apresiasi Presiden Prabowo Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Presiden RI ke-2 Soeharto
UMM Gelar Workshop Inovasi, Perkuat Literasi dan Numerasi Guru Melalui AI
Menu Makanan Sesuai BGN, SPPG Yayasan Ibnu Bachir Jadi Percontohan
Belajar Disiplin dari Nabi: Mahasiswa IAI At-Taqwa Kupas Strategi Mengatur Waktu Ala Rasulullah SAW
Oknum TNI AD Dandim 1630 Mabar, Diduga Bekingi Terduga Mafia Tanah 40 Hektar Santosa Kadiman di Labuan Bajo
Selami Kearifan Ritual “Reresik Kali”, Prof. Abdulkadir Tembus Publikasi Jurnal Q1
Kasus Pisang Tumbuh Sawit: Marwan Divonis 6 Tahun, Tiga Perusahaan Bebas Melenggang
Ketua DPD Kawal Gibran Bersama Bondowoso Dukung Soeharto dan Gus Dur Ditetapkan Pahlawan Nasional

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 17:11

Bamsoet Apresiasi Presiden Prabowo Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Presiden RI ke-2 Soeharto

Selasa, 11 November 2025 - 10:19

UMM Gelar Workshop Inovasi, Perkuat Literasi dan Numerasi Guru Melalui AI

Selasa, 11 November 2025 - 05:43

Menu Makanan Sesuai BGN, SPPG Yayasan Ibnu Bachir Jadi Percontohan

Senin, 10 November 2025 - 21:18

Belajar Disiplin dari Nabi: Mahasiswa IAI At-Taqwa Kupas Strategi Mengatur Waktu Ala Rasulullah SAW

Senin, 10 November 2025 - 08:53

Oknum TNI AD Dandim 1630 Mabar, Diduga Bekingi Terduga Mafia Tanah 40 Hektar Santosa Kadiman di Labuan Bajo

Berita Terbaru