BUDIYONO, S.H., M.M., M.H
Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Email: budiyono030278@gmail.com
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia hidup di antara dua dunia hukum yang terus berdialektika: hukum yang bersumber dari tradisi dan nilai-nilai lokal di satu sisi, dan hukum modern yang rasional, birokratis, serta universal di sisi lain. Ketegangan antara keduanya bukan hanya masalah teknis yuridis, melainkan persoalan ideologis tentang identitas hukum nasional.
Sejak masa kolonial, sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh civil law system dari Belanda. Pengaruh ini menanamkan paradigma positivistik seperti dikemukakan oleh (Kelsen, 1967) dalam Pure Theory of Law bahwa hukum harus dipisahkan dari nilai moral dan sosial agar mencapai kepastian. Namun pendekatan ini menimbulkan jurang antara hukum negara dan realitas sosial.
Sebaliknya, (Ehrlich, 2019) menegaskan dalam Fundamental Principles of the Sociology of Law bahwa “the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, but in society itself.” Artinya, hukum yang benar-benar hidup berasal dari interaksi sosial dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, bukan hanya dari teks undang-undang.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, hukum tidak bisa berdiri di atas nalar rasional semata, tetapi juga harus mengakar pada nilai-nilai kultural. Sebagaimana diingatkan Satjipto Rahardjo dalam (Turiman, 2010), hukum yang tidak berpihak pada manusia hanya akan menjadi “teks beku” tanpa jiwa.
Pembaruan hukum di Indonesia tidak dapat semata-mata berorientasi pada rasionalitas modern, melainkan harus memadukan nilai-nilai sosial dan kultural sebagai sumber moral hukum. Di sinilah kearifan lokal menjadi fondasi penting untuk menyeimbangkan antara efisiensi modern dan keadilan sosial.
- Tradisi dan Modernitas dalam Ketegangan Sistem Hukum
Modernisasi hukum sering kali dimaknai sebagai proses rasionalisasi hukum agar efisien dan sejalan dengan standar internasional. Namun, menurut (Weber, 2019), rasionalisasi hukum yang terlalu formal akan menghasilkan “iron cage” kerangkeng birokrasi yang justru membatasi kebebasan manusia. Fenomena ini tampak pada sistem hukum kita yang kerap kaku dan lamban merespons dinamika sosial.
Sebaliknya, hukum adat yang tumbuh di masyarakat bersifat fleksibel, responsif, dan lebih mengutamakan keseimbangan sosial ketimbang kepastian formal. (Griffiths, 1986) melalui teori Legal Pluralism menjelaskan bahwa dalam masyarakat plural seperti Indonesia, selalu ada berbagai sistem hukum yang hidup berdampingan. Hukum negara, hukum adat, dan hukum agama saling berinteraksi dan membentuk keseimbangan tersendiri.
Namun dalam praktiknya, hukum adat sering kali terpinggirkan oleh dominasi hukum negara. Menurut (Santos, 2020), fenomena ini disebut “monoculture of law” di mana hanya hukum negara yang dianggap sah, sementara sistem hukum lain dipandang inferior. Akibatnya, modernisasi hukum justru menimbulkan ketimpangan epistemik dan mengikis keberagaman hukum lokal.
Secara kritis, kita harus mengakui bahwa inovasi hukum tidak berarti menolak modernitas, melainkan menata ulang relasi antara rasionalitas hukum dan spiritualitas sosial. Satjipto Rahardjo dalam (Aulia, 2018; Laili & Fadhila, 2021; Turiman, 2010), menawarkan konsep Hukum Progresif, yaitu hukum yang berani “keluar dari teks” demi keadilan substantif. Dalam kerangka ini, hukum adat dan nilai-nilai lokal bukan penghambat kemajuan, melainkan sumber inspirasi untuk melahirkan hukum yang lebih manusiawi.
Ketegangan antara tradisi dan modernitas bukanlah pertentangan mutlak, melainkan peluang dialektis untuk membangun hukum yang responsif dan berkeadilan. Pembaruan hukum sejati bukanlah mengganti yang lama dengan yang baru, tetapi menyinergikan rasionalitas modern dengan kearifan tradisional.
- Kearifan Lokal sebagai Sumber Etika dan Keadilan Hukum
Kearifan lokal atau local wisdom merupakan bentuk pengetahuan kolektif yang tumbuh dari pengalaman historis masyarakat. Ia menjadi pedoman moral, etika sosial, dan sumber legitimasi dalam kehidupan bersama. Menurut (Koentjaraningrat, 1985), nilai budaya seperti gotong royong, musyawarah, dan harmoni sosial merupakan inti kebudayaan Indonesia yang terus hidup di tengah perubahan zaman.
Dalam teori hukum, (Savigny, 1814) menekankan konsep Volksgeist, jiwa bangsa yang menjadi sumber dari setiap sistem hukum. Hukum, katanya, bukan produk legislator, melainkan hasil dari perkembangan organik masyarakat. Pandangan ini sejalan dengan Soepomo (1946) dalam (Sutono et al., 2025) yang menegaskan bahwa hukum Indonesia harus mencerminkan jiwa bangsa Indonesia yang komunal dan kekeluargaan.
Kearifan lokal telah terbukti mampu menjaga keadilan sosial. Di Maluku, misalnya, sistem sasi melarang pengambilan hasil laut dalam waktu tertentu demi keseimbangan alam. Di Bali, awig-awig berfungsi sebagai hukum komunitas yang mengatur hubungan antarwarga secara demokratis (Fauzi et al., 2024). Sementara di Minangkabau, asas musyawarah mufakat menegaskan keadilan sebagai hasil kolektif, bukan keputusan individu (Desri et al., 2024).
Teori Restorative Justice oleh (Zehr, 1990) juga memiliki kesamaan nilai: keadilan tidak semata-mata menghukum pelaku, tetapi memulihkan hubungan sosial yang rusak. Dalam konteks ini, hukum adat Nusantara jauh lebih maju karena sejak lama mengedepankan keseimbangan sosial dan pemulihan moral dibanding sekadar pembalasan.
Namun, tidak semua tradisi dapat diromantisasi. Sebagaimana dikritik oleh (Geertz, 1973) dalam The Interpretation of Cultures, kearifan lokal juga bisa menjadi instrumen kekuasaan jika tidak dikritisi secara reflektif. Oleh karena itu, pembaruan hukum berbasis kearifan lokal harus bersifat selektif, menimbang nilai-nilai yang relevan dengan prinsip keadilan, HAM, dan kesetaraan gender.
Kearifan lokal merupakan sumber etika hukum yang hidup dan kontekstual. Namun ia harus diinterpretasi secara kritis agar tidak menjadi alat konservatisme sosial. Pembaruan hukum berbasis kearifan lokal harus menyaring nilai-nilai yang universal: kemanusiaan, keadilan, dan keseimbangan.
- Menata Pembaruan: Integrasi antara Nilai Lokal dan Inovasi Global
Menata pembaruan hukum berarti menciptakan harmoni antara sistem hukum nasional dan nilai lokal. Ada tiga strategi kunci dalam integrasi ini:
- Rekognisi Formal terhadap Hukum Adat
Konstitusi Indonesia melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mengakui eksistensi masyarakat hukum adat (Rahman et al., 2011). Namun secara faktual, implementasi pengakuan ini masih terbatas. Menurut (Santos, 2020), hukum negara perlu mengakui “pluralitas epistemik” dengan membuka ruang bagi sistem hukum non-negara untuk berperan dalam penyelesaian sengketa. Penguatan hukum adat secara formal dapat memperkaya sistem hukum nasional dengan nilai-nilai keadilan sosial dan ekologis.
- Revitalisasi Pendidikan dan Ilmu Hukum
Ilmu hukum modern sering kali terjebak dalam paradigma positivisme legalistik. Untuk keluar dari jebakan itu, pendidikan hukum perlu mengadopsi pendekatan Law and Society seperti yang dikemukakan (Nonet & Selznick, 2017) dalam Law and Society in Transition. Hukum yang matang adalah hukum yang responsif terhadap nilai sosial, bukan sekadar memelihara tatanan formal. Fakultas hukum di Indonesia perlu menghidupkan kembali mata kuliah antropologi hukum, sosiologi hukum, dan etika hukum yang berbasis nilai lokal.
- Inovasi Teknologis Berbasis Kearifan Lokal
Era digital justru membuka peluang besar untuk mengarsipkan, memetakan, dan memperkuat eksistensi hukum adat. Pembuatan database digital hukum adat, dokumentasi awig-awig online, hingga platform penyelesaian sengketa adat digital bisa menjadi wujud nyata inovasi hukum yang tetap berakar lokal.
Konsep hybrid law seperti dikemukakan (Tamanaha, 2017) menjelaskan bahwa hukum masa depan bukanlah pilihan antara tradisi atau modernitas, melainkan campuran keduanya dalam bentuk sistem hukum adaptif.
Pembaruan hukum berbasis kearifan lokal hanya akan berhasil jika ada sinergi antara pengakuan formal, pendidikan hukum yang kontekstual, dan inovasi digital. Indonesia berpotensi menjadi model dunia tentang bagaimana tradisi dan inovasi dapat berjalan beriringan tanpa saling meniadakan.
- Hukum Masa Depan: Dari Kearifan Lokal Menuju Inovasi Global yang Berkeadilan
Peta hukum masa depan Indonesia harus diarahkan pada model hukum yang inklusif, digital, dan berkeadilan sosial, tanpa kehilangan akar tradisinya. Transformasi digital dalam bidang hukum dari e-court, legal tech, hingga kecerdasan buatan (AI in law) menuntut sistem hukum yang mampu beradaptasi dengan cepat. Namun, tanpa nilai moral lokal, inovasi hukum bisa kehilangan sisi etik dan kemanusiaannya.
(Teubner, 1993) memperingatkan bahwa hukum modern cenderung menjadi “autopoietic system”, yaitu sistem yang berputar pada dirinya sendiri tanpa sensitivitas sosial. Karena itu, pembaruan hukum digital di Indonesia perlu diimbangi dengan prinsip living ethics dari kearifan lokal agar tidak berubah menjadi hukum yang mekanistik.
Di sisi lain, gagasan (Bentham, 2000) tentang utilitarianism bahwa hukum sebaiknya membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang perlu diterjemahkan kembali dalam konteks Indonesia. Manfaat hukum tidak hanya diukur dari efisiensi, tetapi juga keberlanjutan sosial, ekologis, dan budaya.
Kearifan lokal seperti konsep Tri Hita Karana di Bali, Sasi di Maluku, atau Subak sebagai sistem pengelolaan air tradisional, dapat menjadi inspirasi desain hukum lingkungan modern yang berkelanjutan (sustainable legal design). Dengan menggabungkan digital innovation dan local wisdom, Indonesia dapat menciptakan model hukum masa depan yang bukan hanya efisien, tetapi juga beradab.
Masa depan hukum Indonesia terletak pada kemampuan untuk mengintegrasikan kecanggihan teknologi dengan kebijaksanaan lokal. Hukum yang ideal bukan hanya modern dan cepat, tetapi juga adil, manusiawi, dan berakar. Dengan demikian, Indonesia dapat memimpin dunia dalam paradigma baru: “local wisdom in global innovation.”
KESIMPULAN
Menata pembaruan hukum berbasis kearifan lokal bukanlah langkah mundur menuju romantisme masa lalu, melainkan strategi maju untuk membangun hukum yang relevan, manusiawi, dan kontekstual. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang kaku dan jauh dari rakyat, sebagaimana dikritik oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia.”
Integrasi tradisi dan inovasi akan menghasilkan hukum yang berakar dan berorientasi ke depan: hukum yang tidak tercerabut dari nilai-nilai lokal, namun juga tidak tertinggal dari dinamika global. Inilah wujud hukum yang progresif, responsif, dan berkeadaban hukum hukum yang menjadikan kearifan lokal sebagai sumber inspirasi, bukan sekadar ornamen budaya.
DAFTAR REFERENSI
Aulia, M. Z. (2018). Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi. Undang: Jurnal Hukum, 1(1), 159–185. https://doi.org/https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185
Bentham, J. (2000). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Batoche Books Kitchener. https://historyofeconomicthought.mcmaster.ca/bentham/morals.pdf
Desri, S., Setianingsih, E. L., Warsono, H., Dwimawanti, I. H., & Khairul, K. (2024). Kepemimpinan Minangkabau Strategi Dan Praktik Dalam Pelayanan Masyarakat Oleh Pemerintah Daerah. PT Media Penerbit Indonesia. http://repository.mediapenerbitindonesia.com/436/1/%28%2BISBN%29T 329 Kepimimpinan Minangkabau.pdf
Ehrlich, E. (2019). Fundamental Principles of the Sociology of Law. Routledge Taylor & Francis Group. https://api.pageplace.de/preview/DT0400.9781351518352_A30457246/preview-9781351518352_A30457246.pdf
Fauzi, A., Yuani, F. A., Halwa, N. A., Hamasti, S. A., & Allfazhriyah, S. A. N. (2024). Peran Awig-Awig Dalam Menjaga Ketertiban Dan Keamanan Di Desa Pakraman. Jurnal Lentera Ilmu (JLI), 1(2), 99–104. https://doi.org/https://doi.org/10.59971/li.v1i2.58
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books, Inc., Puhlishers. https://doi.org/10.1007/BF00695328
Griffiths, J. (1986). What is legal pluralism? Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 18(24), 1–55. https://doi.org/10.1080/07329113.1986.10756387
Kelsen, H. (1967). Pure Theory of Law. University of California Press. https://cdn.oujdalibrary.com/books/612/612-pure-theory-of-law-(www.tawcer.com).pdf
Koentjaraningrat, K. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia. https://fliphtml5.com/bvtdu/jmla/basic#google_vignette
Laili, A., & Fadhila, A. R. (2021). TEORI HUKUM PROGRESIF (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.). SINDA: Comprehensive Journal of Islamic Social Studies, 1(1), 122–132. https://doi.org/10.28926/sinda.v1i1.966
Nonet, P., & Selznick, P. (2017). Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (Vol. 1, Nomor 1). Routledge Taylor & Francis Group. https://api.pageplace.de/preview/DT0400.9781351509596_A30457439/preview-9781351509596_A30457439.pdf
Rahman, I. N., Triningsih, A., W, A. H., & Kurniawan, N. (2011). Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi. Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 167–186. https://www.mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Masyarakat Hukum Adat.pdf
Santos, B. de S. (2020). Toward a New Legal Common Sense (Law, Globalization, and Emancipation Third Edition). Cambridge University Press. https://doi.org/10.4324/9781003253778-3
Savigny, F. C. von. (1814). Vom Beruf unserer Zeit für Gesetzgebung und Rechtswissenschaft. Mohr und Zimmer. https://digi.ub.uni-heidelberg.de/diglit/savigny1814
Sutono, A., Noorzeha, F., & Purwosaputro, S. (2025). Konsep Negara Integral Soepomo dan Relevansinya pada Penerapan Konstitusi di Indonesia Tahun 2024. PACIVIC: Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 5(1), 30–46. https://doi.org/10.36456/p.v5i1.9839
Tamanaha, B. Z. (2017). A Realistic Theory of Law. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781316979778
Teubner, G. (1993). Law as an Autopoietic System. Blackwell Publishing. https://www.researchgate.net/publication/341131015_Teubner_-_Law_as_an_autopoietic_system
Turiman, T. (2010). Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf.” Jurnal Hukum Progresif, 1–72. https://jdih.kemendag.go.id/pdf/Buku-/Jurnal/Memahami_Paradigma_Hukum_Progresif_Prof.pdf
Weber, M. (2019). Economy and Society (A New Translation by K e i t h Tr ib e). Harvard University Press. https://cdn.oujdalibrary.com/books/47/47-economy-and-society-a-new-translation-(www.tawcer.com).pdf
Zehr, H. (1990). Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Herald Press. https://archive.org/details/changinglensesne00zehr/page/n5/mode/1up
Editor : Moh. Abdan Syakuro, M.Pd











