Jatim Aktual, Jember — Belakangan ini publik kembali disuguhkan drama politik di tingkat daerah. Sorotan tertuju pada Kabupaten Jember, di mana hubungan antara Bupati Gus Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto kian meruncing. Konflik keduanya bukan sekadar persoalan internal, tetapi dinilai telah mengganggu stabilitas pemerintahan daerah.
Wakil Ketua DPRD Jember, Widarto, S.S., dari Fraksi PDIP, menilai perpecahan ini bukan hanya soal relasi personal.
“Ini bukan cuma soal hubungan dua pemimpin. Ini juga soal pendidikan politik bagi masyarakat. Ketika pemimpinnya tak bisa memberi contoh yang baik, itu menciptakan preseden negatif,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

Konflik itu bahkan telah menyeret ranah hukum. Berdasarkan laporan Tribun-Timur.com, Djoko Susanto melaporkan pasangannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 4 September 2025. Ia menilai dirinya kerap diabaikan dalam proses pengambilan keputusan penting dan tidak dilibatkan dalam forum strategis pemerintahan.
Menanggapi hal itu, Widarto menegaskan,
“Boleh saja siapa pun membuat laporan ke KPK, itu hak. Tapi yang harus jadi perhatian adalah mengapa ketegangan antara bupati dan wakilnya tak kunjung reda.”
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa jadinya jika kepala daerah dan wakilnya berjalan tanpa irama yang sama?
Ketidakharmonisan: Ancaman Bagi Pemerintahan Daerah
Ketidakharmonisan antara Bupati dan Wakil Bupati bukan sekadar “konflik personal”, melainkan ancaman nyata bagi stabilitas pemerintahan daerah. Dalam konteks politik lokal, disharmoni semacam ini dapat menjadi bom waktu yang melemahkan birokrasi dan menggerus kepercayaan publik.
Dari sisi administratif, absennya Wakil Bupati dalam forum-forum penting seperti rapat paripurna DPRD menggambarkan rapuhnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif. Kondisi ini menimbulkan kesan buruk terhadap tata kelola pemerintahan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas publik. Pemerintahan yang idealnya menjadi simbol kolaborasi justru berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan pribadi.
Sementara dari sisi manajerial, konflik di pucuk pimpinan membuat arah kebijakan daerah menjadi kabur. Tanpa kesepahaman di antara dua pemimpin utama, program pembangunan berisiko berjalan tanpa kompas yang jelas. Aparatur kehilangan arah, tugas menjadi tumpang tindih, dan pelayanan publik tersendat. Ujung-ujungnya, masyarakatlah yang paling dirugikan.
Tak kalah penting, dari dimensi sosial-politik, perselisihan di tingkat elit justru menciptakan polarisasi publik. Di Jember, isu ini bahkan menjadi bahan perdebatan di media sosial. Pendukung kedua kubu saling beradu opini, dan persoalan personal berubah menjadi konsumsi politik yang mengikis kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya sendiri.
Perspektif Hukum Tata Negara
Secara konstitusional, relasi antara Bupati dan Wakil Bupati merupakan satu kesatuan kekuasaan eksekutif daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketidakharmonisan antara keduanya menyebabkan disfungsi kelembagaan eksekutif daerah. Secara substansial, hal ini dianggap melanggar Pasal 58 UU No. 23 Tahun 2014, yang mewajibkan pejabat daerah menjunjung etika dan mengutamakan kepentingan umum.
Namun secara yuridis formal, ketidakharmonisan kepala daerah dan wakilnya tidak otomatis menjadi pelanggaran hukum, kecuali jika:
- Konflik menyebabkan kebijakan daerah tidak berjalan,
- Ada tindakan administratif yang nyata merugikan publik, atau
- Konflik tersebut menimbulkan kekacauan dalam pelayanan pemerintahan.
Lebih jauh, potensi dualisme kepemimpinan dapat muncul — suatu kondisi yang bertentangan dengan Pasal 66 ayat (2) huruf a, di mana Wakil Bupati hanya menjalankan tugas ketika Bupati berhalangan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka krisis akuntabilitas konstitusional bisa terjadi: rakyat kehilangan kepastian tentang siapa sebenarnya yang memegang mandat pemerintahan.
Dalam konteks ini, pemerintah provinsi dan Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, evaluasi, bahkan rekomendasi pemberhentian kepala daerah atau wakilnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 68–78 UU No. 23 Tahun 2014.
Penutup
Keharmonisan antara kepala daerah dan wakilnya bukan sekadar urusan pribadi, melainkan fondasi bagi stabilitas pemerintahan daerah. Kasus Jember menjadi cermin bagaimana konflik di tingkat elit daerah dapat menciptakan efek domino terhadap birokrasi, pelayanan publik, hingga citra demokrasi lokal.
Sudah seharusnya para pemimpin daerah menyadari bahwa jabatan publik bukan ajang rivalitas ego, melainkan ruang untuk bekerja bersama bagi kepentingan rakyat.
Pemerintahan tanpa harmoni ibarat kapal dengan dua nakhoda yang tak seirama — bergerak, tetapi tanpa arah.
Oleh: Ach. Dani Maulana Aziz
Ketua Bidang Keilmuan & Pengembangan Profesi IKMASS Jember
Penulis : Ach. Dani Maulana Aziz











