Jatim Aktual, MALANG- Fenomena kesenian mberot di Malang Raya tengah menjadi sorotan. Popularitasnya kian meluas, tercatat ada sekitar 1.336 kelompok bantengan yang menaungi kesenian tersebut: 980 kelompok berada di Kabupaten Malang, 243 di Kota Malang, dan 85 di Kota Batu. Kesenian rakyat ini tidak hanya digemari masyarakat umum, tetapi juga diikuti oleh anak-anak usia sekolah dasar, atau yang kini dikenal sebagai generasi alpha.
Namun, di balik maraknya pertunjukan, budaya mberot kerap dikaitkan dengan stigma negatif. Beberapa pentas justru berujung ricuh, bahkan pernah memunculkan aksi saling serang antar kelompok dengan senjata tajam. Situasi semacam itu diperparah oleh praktik konsumsi minuman keras dan tindakan gaduh yang melingkupi pertunjukan. Kekhawatiran pun muncul, terutama karena generasi alpha yang terlibat masih berada pada tahap perkembangan psikososial yang rentan meniru perilaku di sekitarnya.
Kondisi inilah yang menggerakkan sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) untuk menginisiasi riset dalam skema Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Penelitian yang diketuai oleh Meilisa Tri Adinda Putri dengan anggota Febila Serlina Efendi, Fitriya Maharani, Ana Maulida Azura, dan Wiga Septiyan Vindiani ini bertajuk “Gayenge Malang: Kajian Pambudi Luhur Budaya Mberot Menggunakan Metode Gioia untuk Mitigasi Pergeseran Karakter Generasi Alpha di Wilayah Malang.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Selama ini mberot lebih sering dilihat dari sisi negatif, padahal di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur yang justru bisa membentuk karakter anak-anak,” ujar Meilisa saat ditemui di kampus UMM. Menurutnya, melalui pendekatan penelitian yang tepat, kesenian ini berpotensi menjadi media pendidikan karakter yang kontekstual sekaligus melestarikan budaya lokal.
Dalam riset tersebut, tim menggunakan metode Gioia, sebuah teknik analisis kualitatif yang memungkinkan peneliti menggali data secara mendalam. Observasi lapangan dilakukan di Kabupaten Malang, antara lain Desa Tajinan dan Kecamatan Turen, serta di Kota Malang dan Batu. Para peneliti mewawancarai pelaku mberot usia sekolah dasar, pemilik sanggar, guru, kepala sekolah, hingga penonton pertunjukan. Dokumentasi kegiatan juga dikumpulkan untuk memperkaya data.
“Yang pertama dengan melibatkan adik-adik kita, yang paling utama adalah untuk memperkenalkan seperti apa sih kebudayaan kita yang utama ini, dengan harapan agar nanti kita tidak kehilangan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Dan sementara ini banyak yang mengklaim untuk menguasai budaya kita, sehingga kita memperkenalkan ke regenerasi kita melalui salah satunya kesenian bantengan. “ Ujar pemilik sanggar mberot .
Keterangan pemilik sanggar juga didukung dengan pernyataan pemain mberot dan penonton mberot yang merasa bahwa budaya mberot ini memiliki nilai positif seperti membuat anak lebih suka bersosialisasi, tidak kecanduan gadget, dan melatih motorik kasar mereka.
“Di tempat latihan, iya bareng-bareng. (ikut Mberot) Seru temannya banyak.” Ujar Reval, anak sekolah dasar di kota malang yang mengikuti kelompok budaya mberot di daerahnya.
Hasil penelitian mengungkap bahwa nilai-nilai pambudi luhur yang terkandung dalam budaya mberot mencakup tiga aspek utama: nilai moral etika, kearifan lokal, serta nilai religius spiritual. Dari ketiganya, aspek moral etika dan kearifan lokal tampak lebih dominan. Temuan ini menjadi bukti bahwa mberot sesungguhnya tidak semata-mata soal atraksi fisik, melainkan ruang internalisasi nilai yang relevan bagi generasi muda.
Dr. Dyah Worowirastri Ekowati, S.Pd., M.Pd., dosen pembimbing riset, menegaskan pentingnya reposisi makna mberot. “Jika kita hanya menyoroti perilaku-perilaku negatif saat pertunjukan, maka mberot akan terus dicap negatif. Padahal, ada filosofi pambudi luhur yang bisa kita gali. Mahasiswa perlu hadir untuk mengembalikan esensi budaya ini sebagai sarana pendidikan karakter,” ungkapnya.
Melalui penelitian ini, tim berharap dapat menawarkan strategi mitigasi untuk mengurangi potensi penyimpangan nilai dalam praktik mberot. Salah satunya dengan merumuskan panduan berbasis nilai pambudi luhur yang dapat diterapkan di sanggar maupun sekolah dasar. Strategi ini diharapkan mampu mengarahkan generasi alpha agar menjadikan mberot sebagai wadah pembelajaran moral, sosial, dan spiritual, alih-alih hanya tontonan hiburan yang rawan disalahgunakan.
“Harapan kami, hasil penelitian ini bisa menjadi kontribusi nyata dalam dua hal. Pertama, melestarikan budaya lokal dengan cara yang lebih bijak. Kedua, memberikan alternatif pendidikan karakter yang dekat dengan keseharian anak-anak di Malang Raya,” tutur Meilisa.
Dengan riset ini, mahasiswa UMM berupaya menunjukkan bahwa budaya lokal tak seharusnya dipandang sebelah mata. Alih-alih dibiarkan tergerus stigma negatif, mberot dapat dikembalikan ke akarnya: sebagai sarana pembentukan karakter yang membumi, penuh nilai, dan relevan bagi generasi penerus.
Penulis : Chan
Editor : Red