Jatim Aktual, Bondowoso — 20 September 2025 Pagi yang cerah di Pasar Induk Bondowoso dipenuhi semangat kebersamaan. Ratusan relawan, masyarakat, hingga Bupati Bondowoso turun langsung dalam rangkaian World Cleanup Day 2025. Dengan membawa kantong sampah dan sapu lidi, mereka bergerak menyusuri pasar, mengajak pedagang dan pengunjung untuk peduli pada kebersihan lingkungan.
Kehadiran Bupati yang ikut memungut sampah bersama relawan menjadi pusat perhatian. Dengan senyum ramah, ia menyapa warga sembari menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan. Suasana tampak semarak, pasar tidak hanya ramai oleh transaksi, tetapi juga oleh sorak semangat menjaga kebersihan.
Namun di balik gegap gempita itu, ironi mencuat. Sampah yang sudah dipilah dengan susah payah akhirnya kembali bercampur di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Tidak ada tindak lanjut jelas dari pemerintah untuk memastikan sampah pilahan benar-benar dikelola sesuai jenisnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Alhasil, jerih payah relawan dan masyarakat terasa sia-sia. Banyak peserta kegiatan menilai usaha mereka tidak memberi dampak signifikan, karena sistem pengelolaan sampah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Kalau akhirnya dicampur lagi, buat apa repot-repot memilah?” ujar seorang relawan yang enggan disebut namanya, saat ditemui usai kegiatan.
Kritik pun bermunculan. Acara yang semestinya menjadi teladan justru meninggalkan tanda tanya besar: apakah pemerintah benar-benar serius mengatasi persoalan sampah, atau sekadar menggelar seremoni tahunan?
Kondisi kian memprihatinkan, mengingat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bondowoso sudah kelebihan kapasitas. Tanpa langkah nyata, kegiatan bersih-bersih hanya akan menjadi tontonan rutin tanpa menghasilkan perubahan berarti.
Athoillah, salah satu aktivis mahasiswa Bondowoso, menilai kegiatan itu hanya memperlihatkan “wajah seremonial” pemerintah daerah. “Kita butuh solusi konkret, bukan sekadar aksi simbolis. Sampah yang dipilah kalau akhirnya bercampur di TPS sama saja bohong,” tegasnya.
Menurut Athoillah, partisipasi masyarakat dan relawan adalah modal penting. Tetapi tanpa kebijakan teknis yang kuat dari pemerintah, gerakan lingkungan seperti World Cleanup Day hanya menjadi euforia tahunan.
Ironi ini juga mencerminkan pola lama: kegiatan besar dengan gaung publikasi tinggi, namun minim hasil konkret. Hal ini menimbulkan keraguan apakah World Cleanup Day benar-benar momentum peduli lingkungan atau sekadar ajang pencitraan.
Meski begitu, antusiasme masyarakat patut diapresiasi. Partisipasi warga membuktikan kesadaran publik terhadap pentingnya kebersihan semakin tumbuh. Hanya saja, kesadaran itu harus diimbangi dengan kebijakan nyata agar tidak padam di tengah jalan.
Tanpa langkah berani dari pemerintah daerah, World Cleanup Day Bondowoso berisiko sekadar menjadi “seremoni kosong”—gemuruh sesaat yang tak meninggalkan perubahan berarti bagi pengelolaan lingkungan.