Jatim Aktual, Esai – Di era digital yang semakin terkoneksi, kehadiran pejabat publik di media sosial bukan lagi hal yang mengejutkan, melainkan menjadi bagian dari strategi politik modern. Sosok-sosok seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM), Cak Armuji, hingga Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, menjadi representasi dari fenomena baru di mana kinerja dan citra bersaing secara bersamaan dalam satu bingkai digital.
Antara Tugas Publik dan Panggung Media
KDM, misalnya, telah menjelma menjadi ikon “gubernur konten”, meski ia bukan (atau belum) menjabat sebagai gubernur. Dalam berbagai platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram, ia aktif menampilkan kegiatannya menyapa masyarakat, memberi bantuan sosial, menyidak pelanggaran, bahkan membina anak-anak jalanan. Kontennya berhasil mencuri perhatian dan simpati warganet, dari pujian hingga kritik keras.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ia bukan satu-satunya. Cak Armuji, Wakil Wali Kota Surabaya, juga aktif melakukan sidak dan mediasi di tengah masyarakat. Dalam beberapa konten, ia bahkan mencantumkan nomor WhatsApp pribadinya sebagai kanal pengaduan langsung dari warga Surabaya. Langkah ini menghadirkan angin segar, mengingat akses masyarakat terhadap pejabat publik selama ini terasa jauh dan berliku.
Lebih luas lagi, Immanuel Ebenezer sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan juga viral berkat aksinya menyidak perusahaan-perusahaan yang menahan ijazah para buruh. Ia tampil tegas dan tanpa kompromi, membuat banyak masyarakat merasa memiliki pembela di tengah ketimpangan relasi kuasa di dunia kerja. Aksi-aksi ini mendapat apresiasi luas dari netizen, menunjukkan bahwa publik kini sangat responsif terhadap kepemimpinan yang hadir langsung, baik secara fisik maupun digital.
Politik Estetika dan Kekuatan Algoritma
Fenomena ini tak lepas dari apa yang oleh banyak pengamat disebut sebagai “Politik Estetika”, sebuah pendekatan komunikasi politik yang menitikberatkan pada visualisasi dan simbol-simbol kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Strategi ini bukan hal baru. Presiden Jokowi, misalnya, telah lama menerapkan pendekatan serupa sejak masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Namun, di era media sosial, kekuatan politik estetika meningkat tajam karena disokong oleh algoritma yang mengedepankan konten emosional, personal, dan mudah dibagikan.
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite tahun 2024, lebih dari 61% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial. Sekitar 71% di antaranya menjadikan media sosial sebagai sumber utama informasi, termasuk isu politik. Maka tak heran, pejabat publik yang lihai dalam membangun narasi visual di media digital akan lebih mudah mendapat tempat di hati rakyat, terlepas dari apakah narasi itu sepenuhnya mencerminkan kenyataan.
Antara Branding dan Pelayanan Nyata
Pertanyaan yang lantas muncul: sejauh mana konten tersebut mencerminkan kinerja nyata, dan bukan semata-mata personal branding? Apakah sidak, bantuan, dan aksi yang dikemas dalam video benar-benar terintegrasi dalam sistem birokrasi yang efektif dan berkelanjutan?
Pertanyaan ini penting, karena dalam tata kelola pemerintahan yang baik, kinerja harus bisa diukur dengan indikator yang jelas, bukan hanya jumlah tayangan atau komentar positif. Misalnya, berapa banyak pengaduan masyarakat yang ditindaklanjuti secara administratif? Apakah pendekatan informal terhadap anak jalanan punya kesinambungan dengan kebijakan pendidikan? Dan apakah sidak ke perusahaan benar-benar diikuti oleh sanksi atau regulasi baru?
Sebagian besar masyarakat memang merasa terbantu dengan pendekatan langsung para pejabat ini. Di tengah kesenjangan informasi dan birokrasi yang lamban, kehadiran pejabat secara digital terasa seperti solusi cepat. Namun, kita tak boleh abai bahwa ada risiko ilusi kedekatan, yakni ketika narasi visual memberi kesan kerja yang lebih besar daripada kenyataannya.
Media Sosial: Ruang Baru Partisipasi dan Kritik
Yang menarik, media sosial kini menjadi arena evaluasi publik yang sangat terbuka. Jika dahulu kritik terhadap pejabat terbatas pada ruang-ruang formal atau media konvensional, kini siapa saja bisa menyuarakan opini, mengkritik, bahkan membongkar kelemahan. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang tidak berasal dari lembaga pengawas, melainkan dari masyarakat itu sendiri.
Namun, menjadi “pejabat digital” juga berarti siap menerima eksposur dua arah: pujian sekaligus cacian. Tantangan besar bagi para pejabat ini adalah kemampuan untuk bersikap terbuka terhadap kritik. Seperti yang disampaikan penulis dalam catatan reflektif: “Jangan bungkam ketika mendapatkan kritikan atas kinerja yang dikontenkan, karena itu adalah bagian dari risiko menjadi publik figur digital.”
Keterbukaan Digital sebagai Jembatan Baru
Penulis tidak bermaksud memihak salah satu sosok atau membela strategi pencitraan. Sebaliknya, tulisan ini mengajak pembaca untuk lebih bijak membaca realitas kepemimpinan di era digital. Media sosial bisa menjadi jembatan transparansi, selama tidak menggantikan esensi pelayanan publik itu sendiri.
Sebagaimana organisasi mahasiswa dinilai dari keberadaan akun Instagram mereka, demikian pula pejabat publik kini dinilai dari seberapa aktif dan responsif mereka di ruang digital. Selama konten yang disajikan selaras dengan kebijakan nyata, dan selama kamera tidak menggantikan perencanaan birokrasi, maka komunikasi digital adalah sarana baru yang patut diapresiasi.
Masyarakat pun harus semakin cerdas menilai: tidak semua yang tampak dramatis adalah tulus, dan tidak semua yang diam berarti tidak bekerja. Esensi kepemimpinan bukan sekadar tampil, tetapi berdampak. Maka, biarkan publik menilai, mengkritik, dan mengevaluasi dengan data dan nurani, bukan hanya dengan like dan share.
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Muhammad Akbar Hidayatulloh
Rayon : PMII Rayon “KAWAH” Chondrodimuko
Judul Tulisan : Kepemimpinan di Era Digital: Antara Kamera, Kinerja, dan Kritik Publik