Haji: Perjalanan Dari Tanah Suci Hingga Transformasi Sosial

Rifky Gimnastiar

Sabtu, 14 Juni 2025 - 12:11

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dr. Suheri, S.Pd.I, M.Pd.I (Rektor IAI At-Taqwa Bondowoso)

Jatim Aktual, Religi. Kini, para tamu Allah telah menyelesaikan rukun Islam yang kelima. Setelah menempuh perjalanan panjang, penuh keikhlasan dan pengorbanan, mereka telah menyempurnakan ibadah haji-sebuah ibadah puncak yang tidak hanya menguji fisik dan materi, tetapi juga keikhlasan hati, kedalaman spiritual, dan kesiapan untuk berubah. Mereka kini akan kembali ke tanah air, meninggalkan kota suci Makkah dan Madinah, membawa segudang pengalaman yang tak ternilai dan tak tergantikan oleh apapun di dunia ini.

Namun, haji sejatinya bukanlah akhir. Ia adalah sebuah awal. Awal dari fase hidup baru setelah menyentuh puncak pengalaman spiritual. Ketika kaki-kaki para jamaah melangkah keluar dari tanah suci, sejatinya mereka membawa pulang bukan sekadar oleh-oleh, foto-foto dokumentasi, atau kisah perjalanan, melainkan sebuah misi: bagaimana menjadi haji yang mabrur, yang diterima oleh Allah dan membawa manfaat nyata bagi lingkungan sosialnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di balik ibadah haji terkandung nilai historis dan spiritual yang amat mendalam. Kata “haji” sendiri dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang bermakna “berkunjung dengan maksud dan tujuan agung.” Maka haji adalah kunjungan yang bukan sembarangan. Ia adalah napak tilas, ziarah sejarah, dan penguatan identitas spiritual yang terpatri dalam jejak-jejak nabi Ibrahim AS dan keluarganya-sebuah keluarga yang diberkahi karena ketaatannya, pengorbanannya, dan cintanya kepada Allah SWT.

Seluruh rangkaian manasik haji, seperti thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melempar jumrah, hingga tahallul, bukanlah gerakan kosong tanpa makna. Ia adalah langkah-langkah yang menapak di atas tanah sejarah, menelusuri sya’airillah-situs-situs suci yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an. Ka’bah sebagai titik sentral thawaf misalnya, bukan hanya bangunan kosong berbentuk kubus. Ia adalah rumah pertama yang dibangun untuk manusia sebagai tempat ibadah, sebagaimana firman Allah:

BACA JUGA :  Fakta Menarik Dibalik Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Gebyar Batik Pamekasan

 

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Dalam ayat ini, kita diajak kembali ke masa Nabi Adam AS, yang oleh perintah Allah membangun rumah di muka bumi ini karena kerinduan terhadap suasana surgawi. Itulah sebabnya thawaf menjadi simbol perputaran spiritual, mengikuti putaran malaikat di Baitul Ma’mur, dan mengingatkan manusia pada asal penciptaannya.

Begitu pula saat kita menatap bangunan Ka’bah, kita sejatinya sedang membaca jejak Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, yang dengan penuh pengabdian meninggikan bangunan suci tersebut. Bahkan, maqam Ibrahim dan Hijr Ismail menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Sedangkan bukit Shafa dan Marwah mengisahkan perjuangan dan keteguhan hati seorang ibu-Siti Hajar-dalam memperjuangkan kehidupan anaknya. Sebuah teladan tentang cinta dan kesabaran yang menghasilkan mata air Zamzam, berkah yang tak pernah kering hingga kini.

Wukuf di Arafah juga bukan sekadar berhenti dan berdoa. Ia adalah ruang perenungan, tempat perjumpaan spiritual antara hamba dan Tuhan, sekaligus pertemuan simbolik umat manusia dari berbagai penjuru dunia. Di sanalah kesadaran tentang persaudaraan manusia muncul. Kita semua berasal dari satu ayah-Nabi Adam AS. Maka Arafah menjadi panggung persatuan, ruang silaturahim akbar dalam satu kesadaran: kita sama-sama hamba yang lemah, yang berharap ampunan dan kasih sayang dari Rabbul ‘Alamin.

BACA JUGA :  Pemotongan Hewan Qurban dan Peresmian Sumur Bor di Dusun Gayam Desa Purnama Bondowoso

Demikian pula, lempar jumrah bukan hanya simbolik mengusir setan. Ia adalah deklarasi jihad batin, meneguhkan hati untuk menolak bisikan jahat dan menguatkan tekad menegakkan perintah Allah. Ibadah haji dengan demikian adalah ziarah ruhani-perjalanan spiritual yang sarat makna.

Tetapi nilai haji tidak berhenti di tanah suci. Justru setelah pulang ke tengah-tengah masyarakat, nilai-nilai itulah diuji dalam realitas sosial. Seorang haji mabrur bukan hanya dikenali dari sorban putih di kepalanya, atau gelar ‘Haji’ yang disematkan di depan namanya. Ia diukur dari sikap dan kontribusinya dalam kehidupan masyarakat. Apakah ia menjadi teladan akhlak? Apakah ia menjadi pemecah masalah, penebar kedamaian, pelopor sedekah, dan penggerak kebaikan? Inilah hakikat sosial haji.

Ibadah haji juga memberi pesan ekonomis. Allah tidak memerintahkan haji kepada setiap muslim, tetapi hanya kepada yang mampu-baik secara fisik maupun finansial. Maka secara implisit, haji mendorong umat Islam untuk berdaya, sehat, dan mapan. Di era modern, mereka yang berhaji pasti pernah naik pesawat-alat transportasi zaman ini yang menggantikan unta pada masa lalu. Maka, orang yang mampu berhaji adalah orang yang secara sosial telah mencapai tingkat tertentu dalam keberdayaan ekonomi. Ini seharusnya menjadi motivasi bagi umat Islam untuk bekerja keras, cerdas, dan berkah, agar bisa melaksanakan ibadah ini dan memberi manfaat setelahnya.

BACA JUGA :  WBC/Warga Barudak Cibogel Ciomas Gelar Musabaqoh Hafizul Qu'ran

Allah berfirman:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

Kata “unta kurus” dalam konteks modern bisa dimaknai sebagai segala moda transportasi termasuk pesawat yang digunakan untuk datang memenuhi panggilan Allah. Maka, kemampuan menunaikan haji mencerminkan suatu kemapanan yang perlu disyukuri, bukan disombongkan.

Oleh karena itu, mari kita doakan, agar setiap jamaah haji yang pulang ke tanah air menjadi haji yang mabrur-yakni haji yang diterima oleh Allah, yang bekasnya membekas dalam karakter dan tindakan. Haji yang menghadirkan kesalehan spiritual sekaligus kesalehan sosial. Haji yang membuat seseorang semakin rendah hati, semakin ringan tangan membantu sesama, dan semakin cinta pada kebenaran dan keadilan.

Kita berharap, para haji menjadi teladan moral di lingkungan masing-masing. Menjadi agen perubahan di tengah umat. Sebab mabrur bukan hanya berarti ‘diterima’, tapi juga ‘berbuah’ manfaat bagi sesama.

Semoga mereka yang telah pulang dari tanah suci kembali dalam keadaan seperti bayi yang baru lahir, bersih dari dosa, dan siap menapaki babak baru kehidupan dengan semangat spiritualitas, sosialitas, dan tanggung jawab ilahiah.

Penulis : Dr. Suheri, S.Pd.I, M.Pd.I

Editor : Rifky Gimnastiar

Follow WhatsApp Channel jatimaktual.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Aliansi Relawan Prabowo Gibran Kritisi Pengangkatan Wamen dan Pejabat Tinggi Merangkap Komisaris BUMN 
Dulu Dihina “Anda Miskin Jangan Sok Kaya!”, Kini Aura Cinta Comeback Lewat Single “Aku Tertipu”
Penyerahan Hasil Penelitian Kampung Zakat Sulek Tlogosari kepada Bupati Bondowoso: Zakat Produktif, Masyarakat Progresif: Sinergi Menuju Bondowoso Kota Tri Dharma
AKBP Wahyudin Latif Nahkodai Polres Probolinggo: Siap Tancap Gas Tegakkan Hukum dan Layani Rakyat
Wabup Situbondo Tantang PMII Jadi Mitra Kritis: “Silakan Kritik Pemerintah dengan Gerakan Apapun!”
Muhammad Rafik: Kelompok-Kelompok Adat Menjadi Penjaga Tradisi Budaya Nusantara di Indonesia
Syamsu Rizal MI, Desak Pemerintah Perhatikan Kesejahteraan Wartawan
RMI Jawa Timur Perkuat Pesantren Lewat Workshop Air Bersih dan Pemberdayaan Ekonomi

Berita Terkait

Sabtu, 12 Juli 2025 - 05:27

Aliansi Relawan Prabowo Gibran Kritisi Pengangkatan Wamen dan Pejabat Tinggi Merangkap Komisaris BUMN 

Jumat, 11 Juli 2025 - 15:26

Dulu Dihina “Anda Miskin Jangan Sok Kaya!”, Kini Aura Cinta Comeback Lewat Single “Aku Tertipu”

Jumat, 11 Juli 2025 - 15:12

Penyerahan Hasil Penelitian Kampung Zakat Sulek Tlogosari kepada Bupati Bondowoso: Zakat Produktif, Masyarakat Progresif: Sinergi Menuju Bondowoso Kota Tri Dharma

Kamis, 10 Juli 2025 - 20:27

Wabup Situbondo Tantang PMII Jadi Mitra Kritis: “Silakan Kritik Pemerintah dengan Gerakan Apapun!”

Kamis, 10 Juli 2025 - 19:29

Muhammad Rafik: Kelompok-Kelompok Adat Menjadi Penjaga Tradisi Budaya Nusantara di Indonesia

Berita Terbaru