Oleh: Rifky Gimnastiar (Pengurus Sub Rayon IKSASS Bondowoso Kota, Koor. Bid. Hubungan Eksternal 2022-2026)
Jatim Aktual, Essai. yang tak boleh dilupakan oleh seorang santri, bahkan setelah dunia mengecup keningnya dengan gelar, jabatan, atau panggung kehormatan: rahim tempatnya ditempa.
Rahim itu bukan sekadar rahim biologis, tetapi rahim maknawi, tempat ruh keilmuan dan akhlak ditanam dalam-dalam: Pondok-Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo. Dari situlah seorang santri dilahirkan kembali; bukan sebagai manusia biasa, tapi sebagai penjaga bara cahaya. Waritsatul anbiya’, pewaris para nabi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam tradisi sufistik, mencintai rahim bukan sekadar romantika masa lalu. Ia adalah zikir eksistensial, pengingat bahwa kemuliaan tak lahir dari langit hampa, tetapi dari peluh suci seorang kiai, dari do’a-do’a yang dibisikkan di malam-malam ketika dunia tertidur dan langit terbuka. Mencintai rahim adalah cara untuk menjemput Rahman, sifat kasih Allah yang turun kepada hamba-hamba yang setia kepada asal-usulnya.
Sebagaimana rahim biologis memberi kehidupan jasmani, maka rahim pesantren melahirkan kehidupan ruhani. Maka siapa yang mencintai rahimnya, akan disambut oleh Rahman, kasih sayang Ilahi yang mengalir dari keberkahan tempat ia menuntut ilmu.
Dalam konteks itu, IKSASS (Ikatan Santri Alumni Salafiyah-Syafi’iyah) bukan sekadar organisasi. Ia adalah tali pusar spiritual antara rahim pesantren dan medan perjuangan santri ketika telah berada diluar. Sebagaimana tali pusar tidak boleh diputus sebelum waktunya, maka kealumnian tidak boleh dikhianati, bahkan setelah santri menjelma pejabat, cendekiawan, atau pejuang.
Sebagaimana dawuh Murobbi Ruhina KHR. Achmad Azaim Ibrahimy, Ketua Umum Majelis Syuri Pusat IKSASS:
“Setiap santri alumni harus menjaga kealumniannya dengan berkhidmat di IKSASS.”
Ini bukan himbauan intruktif. melainkan seruan langit agar santri tidak kehilangan kiblat batinnya. Dari sini kita belajar: menjadi alumni bukanlah akhir perjalanan. Ia justru permulaan jihad baru, menyambung tali ruhaniyah antara santri dan pesantren, antara anak dan ibunya, antara murid dan guru, antara kiai dan santri yang tak pernah pensiun dari mencintai santri-santrinya.
IKSASS bukan sekadar organisasi. Ia adalah tali pusar spiritual yang menghubungkan rahim Sukorejo dengan medan hidup para santri di luar sana.
Berorganisasi dalam IKSASS adalah bentuk nyata dari birrul walidain ruhani, berbakti kepada para masyayikh, kepada pesantren, dan kepada tradisi ilmu yang terus hidup di dalamnya.
Salah satu dawuh Pendiri IKSASS, KHR. Ach. Fawaid As’ad, yang penuh pesan ruhaniah;
“Pabungha sengkok cong, maske sakonnik.” Artinya “Bahagiakan saya, nak, meski hanya sedikit.”
Inilah kalimat yang lahir dari samudera cinta. Ia tak menuntut banyak. Tapi ia mengguncang jiwa. Sebab dalam kalimat “Sakonnik” itu —hanya sedikit— tersimpan harapan seorang mursyid kepada muridnya. Memberi yang sedikit, asal dari hati, adalah bentuk pengabdian sejati dan ketulusan yang haqiqi.
Kalimat tersebut juga bukan sekadar permintaan. Ia adalah ikrar cinta, permohonan lembut seorang bapak spiritual kepada anak-anaknya agar tidak melupakan pohon tempat mereka tumbuh. Karena dalam sedikit itu, ada ketulusan. Dalam sakonnik itu, ada pengakuan cinta. Maka apakah kita akan menyia-nyiakan cinta yang demikian tulus?
Dan dawuh beliau yang selalu tertanam dalam diri kita sebagai Kader Salafiyah Syafi’iyah adalah;
“Sapa-sapa she kaloar deri IKSASS, maka secara tidak langsung kaloar deri berisanna sengkok.”
Artinya: “Siapa siapa yang keluar dari IKSASS, maka secara tidak langsung keluar dari barisan saya.”
Barisan itu bukan sekadar struktur organisasi. Ia adalah barisan doa, barisan restu, barisan ruhaniyah yang menghubungkan langit dan bumi melalui para mekasih Allah. Maka betapa celakanya, jika seseorang keluar dari barisan itu hanya demi ambisi, gengsi, atau dunia yang fana.
Keluar dari barisan berarti keluar dari gelombang do’a. Berhenti dari khidmah berarti melepaskan diri dari orbit Rahman yang turun lewat keberkahan organisasi. Maka, bertahan dalam IKSASS bukan hanya pilihan organisatoris tapi pernyataan cinta, bentuk “birrul walidain” kepada rahim yang telah membentuk akal, hati, dan adab seorang kader Salafiyah-Syafi’iyah.
Dalam dunia yang semakin riuh, IKSASS hadir sebagai penjaga keabadian ruhani santri. Ia bukan sekadar perpanjangan tangan pesantren, tapi perpanjangan ruh pesantren di tengah-tengah kehidupan umat.
Maka mencintai rahim, berarti menyambung keikut sertaan dalam barisan para kiai. Menjaga IKSASS berarti menjaga jalan cahaya. Sebab tanpa jalan itu, dunia hanya akan jadi panggung tanpa arah, dan hidup hanya akan jadi perayaan tanpa makna.
Mencintai tanpa syarat, Mengabdi sepanjang hayat !!!
Bondowoso, 11 Juni 2025
*) Rifky Gimnastiar, merupakan Santri Aktifis Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Rayon IKSASS Bondowoso 2015-2022, Kini menjadi Pengurus Sub Rayon IKSASS Bondowoso Kota Masa Khidmah 2022-2026.
*) Essai ini sudah ditashih oleh Ketua Umum Majelis Tanfidzi Rayon IKSASS Bondowoso, H. Harun Ar-Rasyid, S.Pd.
Penulis : Rifky Gimnastiar