Jatim Aktual, Bondowoso. 8 Juni 2025 — Pendopo Bupati Bondowoso dipenuhi suasana khidmat dan penuh hikmah pada Minggu pagi (8/6), saat ratusan jamaah menghadiri acara Ngaji Bareng Kitab At-Tibyan bersama KH. Fahmi Amurullah Hadziq, cucu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PC. Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Bondowoso yang dipimpin oleh Zainullah, S.Ag.
Turut hadir dalam acara ini Bupati Bondowoso, KH. Abdul Hamid Wahid, M.Ag, yang memberikan sambutan sekaligus dukungan penuh atas terselenggaranya kegiatan ini. “Atas nama pemerintah Kabupaten Bondowoso merasa mendapatkan kehormatan karena Ngaji Kitab At-Tibyan diletakkan di Pendopo Bondowoso, insyaallah ini akan menambah keberkahan untuk Bondowoso Berkah” ujar Bupati Hamid.
KH. Abdul Hamid Wahid, S.Ag juga menceritakan ketika dirinya nyantri di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum pengajian dimulai, seluruh hadirin bersama-sama melantunkan Al-Istighatsah Hasyimiyah, sebuah tradisi spiritual khas Pondok Pesantren Tebuireng. Rangkaian istighatsah tersebut diawali dengan Asmaul Husna, dilanjutkan dengan istighfar, dan ditutup dengan syair qashidah karya As-Sayyid Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba‘alawi yang termaktub dalam Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani.

Di sela-sela pengajian, Kiai Fahmi juga menyampaikan kisah historis yang sangat bernilai, yakni tentang transisi kepemimpinan Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama pasca wafatnya KH. Bisri Syansuri. Ia mengisahkan bagaimana KH. As’ad Syamsul Arifin — kiai kharismatik dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo — menolak permintaan untuk menjadi Rais ‘Aam.
“Jangankan Anda yang menawari saya menjadi Rais ‘Aam, malaikat Jibril pun datang saya tetap menolak,” ucap KH. As’ad, sebagaimana diceritakan Kiai Fahmi.
KH. As’ad kemudian mengarahkan agar KH. Mahrus Ali dari Lirboyo ditunjuk, namun penolakan juga datang dengan ungkapan tak kalah tegas:
“Jangankan malaikat Jibril, malaikat Izrail pun yang datang, saya tetap menolak menjadi Rais ‘Aam,” tutur Kiai Mahrus kala itu.
Menurut Kiai Fahmi, sikap tersebut mencerminkan betapa besar rasa tanggung jawab dan kehati-hatian para ulama salaf terhadap amanah kepemimpinan. “Era Nahdlatul Ulama yang paling jaya adalah ketika masa para muassis (pendiri),” ucapnya mengakhiri pengajian dengan penuh refleksi.