Oleh: Moch. Abdul Wafi (Presiden Mahasiswa IAI At-Taqwa Bondowoso 2024/2025)
Raja Ampat kembali menjadi sorotan, bukan karena keindahan alamnya melainkan karena adanya praktik pertambangan Nikel yang dinilai dapat merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
Isu ini mendadak viral dan ramai diperbincangkan setelah sejumlah aktifis Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sangat disayangkan alam yang begitu indah, menyimpan 75% spesies karang dunia, rumah bagi ribuan biota laut, serta jatung ekowisata dan ekologi nasional harus dipertaruhkan demi kepentingan.
Kabar ini menjadi luka bagi masyarakat luas Mereka yang merasa memiliki Raja Ampat secara moral dan kultural merasa dikhianati oleh kehadiran tambang-tambang nikel di wilayah tersebut.
UU No. 1 tahun 2014 tentang pengolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dinilai cukup menjadi landasan dihentikanya praktik pertambangan nikel tersebut. Tegasnya pemanfaatan pulau kecil harus diprioritaskan untuk :
- Pariwisata berkelanjutan,
- Konservasi lingkungan,
- Budidaya laut, serta
- Penelitian ilmiah.
- Bukan untuk kegiatan pertambangan yang merusak ekosistem laut dan darat.
Maka dengan ini pemerintah harus bertindak tegas untuk:
- Mencabut izin pertambangan karena dinilai bertentangan dengan UU. No. 1 tahun 2014.
- Menghentikan seluruh aktifitas pertambangan dikawasan Raja Ampat.
- Menindak tegas perusahaan yang tidak memiliki dokumen lingkungan dan IPPKH.
- Dibukanya ruang partisipasi publik dan akademik dalam pengambilan keputusan.