Oleh: Ahmad Rifandi* (Ketua Bid. III Sosial & Keagamaan PMII Rayon Averroes)
Idul Adha adalah peristiwa sakral yang menggambarkan puncak pengabdian manusia kepada Allah SWT. Momentum ini berakar pada kisah agung Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, yang diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Maka ketika anak itu sampai (umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Ia (Ismail) menjawab: ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. As-Saffat: 102)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari peristiwa besar ini, setidaknya ada tiga hikmah penting yang dapat kita petik:
1. Tunduk Mutlak kepada Allah
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, inti dari qurban bukanlah darah atau daging hewan semata, melainkan sikap hati yang tunduk sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia menulis:
“Sesungguhnya yang disembelih itu bukan hewan, melainkan hawa nafsu. Qurban sejati adalah mengorbankan kecintaan pada dunia dan ego yang menghalangi dari totalitas penghambaan.”
(Ihya’ Ulumuddin, Jilid 4, Bab Asrar al-Qurban)
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Daging dan darah hewan qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang sampai kepada-Nya.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Maka, menyembelih “nafsu duniawi” adalah bentuk latihan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Ilahi.
2. Qurban: Pelajaran Keikhlasan dan Ketakwaan
Imam Al-Ghazali juga menekankan bahwa qurban, seperti ibadah lainnya, adalah sarana menyucikan hati dari penyakit cinta duniawi yang berlebihan. Ibadah menjadi cara untuk senantiasa mengingat bahwa hidup sejatinya adalah tentang berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, bukan kepada selain-Nya.
3. Keteladanan Keluarga Tauhid: Peran Siti Hajar
Siti Hajar adalah sosok perempuan mulia yang sabar dan taat, meninggalkan suaminya demi menjalankan perintah Allah. Dalam literatur tafsir klasik, beliau digambarkan sebagai ibu yang kuat dan penuh iman. Keluarga Ibrahim adalah simbol ketauhidan lintas generasi.
Syekh Ibn ‘Ashur dan para ulama lainnya melihat peristiwa ini sebagai bukti bahwa Idul Adha bukan sekadar pesta daging, tetapi momentum spiritual untuk menghapus keangkuhan, hasrat duniawi, dan ego yang berlebihan.
Idul Adha sejatinya adalah panggilan untuk kembali kepada esensi penghambaan. Bukan daging yang Allah kehendaki, tapi hati yang bersih dan penuh ketundukan. Seperti jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim, Idul Adha mengajarkan kita keikhlasan, keteguhan, dan tauhid yang murni.
“Qurban adalah simbol: bahwa dalam hidup ini, yang diminta Allah bukanlah hartamu, tetapi hatimu.”
Semoga kita semua mampu meneladani Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail dalam meniti jalan penghambaan sejati.
Aamiin.
*): Penulis juga merupakan Mahasiswa Aktif Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) IAI At-Taqwa Bondowoso, Demisioner Ketua Rayon Istimewa IKMASS (Ikatan Mahasiswa Alumni Salafiyah-Syafi’iyah) Bondowoso, Penggiat Literasi Kampus dan dakwah literasi mahasiswa basis organisasi.