Oleh : Saiq Khayran
(Ketua PK. PMII Universitas Nurul Jadid)
Jatim Aktual, Essai. Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh luka dan penderitaan. Selama lebih dari tiga abad, bangsa ini berada dalam cengkeraman penjajah, mengalami berbagai bentuk penindasan dan kekerasan. Kelaparan, kesakitan, serta kehidupan yang serba kekurangan menjadi bagian dari kenyataan yang dialami masyarakat Indonesia kala itu. Di bawah kekuasaan kolonial, rakyat hanya diposisikan sebagai pelayan tak berdaya—bekerja paksa, hidup dalam keringat dan air mata, dengan penghidupan yang jauh dari kata damai dan nyaman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, sejarah Indonesia bukanlah sekadar kisah legenda atau dongeng yang tak berdasar. Ini adalah narasi nyata yang tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah, yang menunjukkan betapa bangsa ini pernah berada dalam keterpurukan selama 350 tahun lamanya. Dalam situasi yang nyaris tanpa harapan, muncul semangat kolektif dari kaum terpelajar dan pemuda untuk bangkit melawan. Berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908, diikuti oleh Sarekat Islam (1912), serta tercetusnya Sumpah Pemuda pada 1928, menjadi tonggak penting dalam perjalanan menuju kemerdekaan.
Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan menandai kebangkitan nasional, saat masyarakat pribumi mulai menyadari pentingnya persatuan, pendidikan, dan perjuangan. Paham nasionalisme mulai tumbuh subur, dipicu oleh semangat liberalisme dan kejenuhan terhadap sistem kolonial yang menindas. Kesadaran itu menjadi bahan bakar utama perjuangan yang kelak mengantarkan Indonesia pada gerbang kemerdekaan.
Makna Hari Kebangkitan Nasional
Tanggal 20 Mei 1908—berdirinya organisasi Budi Utomo—kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Penetapan ini bukan tanpa alasan. Budi Utomo adalah organisasi modern pertama yang digagas oleh anak bangsa untuk memajukan pendidikan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ia menjadi simbol awal kebangkitan kesadaran nasional, sekaligus cikal bakal munculnya gerakan kebangsaan yang lebih besar.
Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan bangsa ini bermula dari kesadaran, keberanian, dan semangat kolektif untuk merdeka. Namun, dalam peringatan ini, muncul pertanyaan yang menggugah, “Apakah Indonesia benar-benar telah bangkit sepenuhnya?”.
Dari Kolonialisme Menuju Neo-Kolonialisme
Pasca-kemerdekaan, Indonesia tidak serta-merta bebas dari segala bentuk penindasan. Jika dahulu penjajahan dilakukan oleh bangsa asing, kini bentuk penindasan hadir dalam wajah yang berbeda—disebut sebagai neo-kolonialisme. Bedanya, aktor utama bukan lagi kekuatan luar, melainkan dari dalam negeri sendiri.
Neo-kolonialisme hadir melalui berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, eksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan keberlanjutan, hingga praktik ketidakadilan yang merampas hak-hak masyarakat. Dalam sistem ini, rakyat masih merasa tertindas dan tidak berdaya—seakan merdeka secara simbolik, namun belum benar-benar berdaulat dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai. Meski penjajah telah angkat kaki secara fisik, “penjajahan” dalam bentuk baru masih membayangi kehidupan rakyat. Maka, kebangkitan nasional sejati bukan hanya soal mengenang sejarah, melainkan tentang bagaimana kita terus memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan rakyat di masa kini.
Bangsa ini telah melalui perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan. Namun, tantangan belum berhenti di sana. Sejarah mengajarkan bahwa kebangkitan sejati bukan hanya soal mengusir penjajah, melainkan juga membangun kehidupan yang adil, berdaulat, dan bermartabat.
Selama masih ada rakyat yang tertindas, hak yang dirampas, dan keadilan yang belum ditegakkan, maka perjuangan belum usai. Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi momen refleksi, untuk melihat sejauh mana bangsa ini telah bangkit, dan apa yang masih harus diperjuangkan agar kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.