Munir Mustaghfirin
(Anggota PMII Rayon Rabi’ah Al-Adawiyah Komisariat RBA. IAI At-Taqwa Bondowoso)
Jatim Aktual, Essai. Dalam dunia Pendidikan pastinya kita tidak asing dengan nama “Ijazah:” ya, sebuah dokumentasi resmi yang diberikan sebagai tanda bukti telah diselesaikannya jenjang pendidikan. Di Indonesia sendiri ijazah ini ada dari mulai tingkat taman kanak-kanak hingga jenjang Pendidikan tertinggi sekalipun. bahkan ia telah menjelma menjadi simbol status sosial, alat ukur kecerdasan, bahkan tiket menuju pengakuan. Fenomena ini bermetamorforsis sebagai budaya yang tak terselesaikan hingga hampir melenyapkan esensi Pendidikan itu sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam banyak kasus, gelar akademik yang disematkan pada sela-sela nama seseorang seolah menjadi mahkota bak seorang raja yang tak memperbolehkan bekerja seperti Masyarakat kelas bawah. Sarjana ekonomi bisa dianggap gagal hanya karna berjualan bakso, sarjana Pendidikan diharuskan berseragam dinas agar ia mampu mendapatkan pengakuan. Banyak Perusahaan masih menjadikan ijazah sebagai syarat mutlak melamar pekerjaan, tak peduli seberapa kreatif dan solutif seseorang. Namun pada realitanya ijazah ini hanya berperan sebagai motor yang mengantar hingga pintu gerbang Perusahaan.mengingat diterima atau tidaknya masih tetap bergantung kepada seberapa sanggup ia membayar dan siapa yang ada dibaliknya.
Hingga pada hari ini “Ijazah” tidak lagi sakral, Ia telah menjelma menjadi komuditas yang dapat diperjual belikan. Universitas abal-abal tumbuh subur mengingat semakin tingginya permintaan. Seperti halnya isu yang sedang ramai diperbincangkan mengenai pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh mantan presiden ke tujuh Ir. Jokowidodo yang dikeluarkan oleh UGM. Namun jika hal itu benar bagaimanakah Nasib Indonesia kedepannya? Tentunya “Praktek jual beli ijazah, kuliah kilat” dan semacamnya akan mendapatkan ladang untuk berkembang kemudian benar-benar menghancurkan fitroh daripada dunia pendidikan Indonesia.
Sebetulnya jika ijazah dilahat dari sudut pandang islam, maka ijazah bukan hal yang wajib dimiliki oleh setiap penganutnya. Mengingat harapan dilaksakannya sebuah Pendidikan adalah meningkatkan kemampuan dan pengetahuan sehingga mampu mengantarkan seseorang menjadi lebih baik. Jelasnya yang wajib dicari adalah ilmu bukan ijazah. Selaras dengan sabdanya ;
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”
Artinya : “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”
Disamping itu nabi juga pernah mengingatkan bahwa jika suatu pekerjaan dilakukan oleh seseorang yang bukan bidangnya maka bersiaplah menunggu kehancuran.
Oleh karna itu mari sama-sama kembalikan fitroh Pendidikan kepada keinginan untuk belajar bukan menitik akhirkan pada keinginan mendapatkan ijazah. Seperti halnya apa yang pernah disampaikan Roky Gerung “Ijazah hanya tanda seseorang pernah sekolah bukan tanda seseorang pernah berpikir.” Dan perlu di-ingat pekerjaan apapun berhak dilakukan oleh siapun selagi ia mampu dan memiliki kompetensi. Cangkul berhak dipeluk S1 atau bahkan doktor sekalipun, begitu juga dengan dasi yang pantas dikenakan petani. Gelar akademik bukan batas antara pekerjaan kelas bawah dan kelas atas, ia hanya sebagai hadiah bagi mereka yang bersekolah.