Oleh : Imam Wahyudi*
(Ketua Umum FORMA Forum Mahasiswa Alas Malang)
Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, tantangan dalam membangun budaya literasi semakin kompleks. Literasi tidak lagi sebatas kemampuan membaca dan menulis, melainkan mencakup kemampuan memahami, mengolah, hingga memproduksi informasi secara kritis. Namun, yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana kita memanifestasikan gairah atau ghairah literasi di kalangan generasi muda, khususnya di lingkungan pendidikan?
Ghairah ber-literasi bukan sesuatu yang tumbuh secara instan. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan kesadaran, pembiasaan, dan lingkungan yang mendukung. Dalam konteks ini, manifestasi berarti perwujudan nyata dari komitmen bersama—baik oleh individu, institusi pendidikan, maupun masyarakat luas—dalam menumbuhkan budaya literasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pertama, sekolah sebagai pusat pendidikan formal memiliki peran strategis dalam menumbuhkan ghairah literasi. Perpustakaan sekolah bukan sekadar ruang penyimpanan buku, tetapi seharusnya menjadi jantung literasi yang hidup. Program literasi seperti “10 menit membaca sebelum pelajaran dimulai”, klub buku, hingga proyek literasi digital harus menjadi rutinitas yang dinanti-nanti, bukan beban tambahan.
Kedua, peran guru sebagai fasilitator literasi sangatlah krusial. Guru bukan hanya mengajar materi, tetapi juga role model dalam menumbuhkan cinta terhadap membaca dan menulis. Dengan memberi contoh yang nyata, seperti aktif menulis di blog pribadi atau mengulas buku yang dibaca, guru bisa menyalakan api ghairah literasi di hati murid-muridnya.
Ketiga, keluarga sebagai lingkungan terkecil memiliki pengaruh luar biasa. Membangun budaya membaca di rumah, menyisihkan waktu untuk bercerita atau membaca bersama, dan memberi akses terhadap buku-buku yang sesuai usia adalah bentuk nyata manifestasi literasi yang sangat efektif. Dukungan emosional dari orang tua juga bisa membuat anak merasa bahwa membaca adalah aktivitas menyenangkan, bukan kewajiban.
Keempat, masyarakat luas juga harus terlibat. Taman bacaan masyarakat, perpustakaan keliling, kegiatan bedah buku, hingga festival literasi harus menjadi bagian dari agenda rutin. Dengan melibatkan tokoh masyarakat, pegiat literasi, dan komunitas pemuda, kegiatan literasi bisa dikemas menjadi lebih menarik dan kontekstual.
Manifestasi ghairah ber-literasi bukan sekadar slogan, tetapi aksi nyata yang terus menerus dan konsisten. Di era informasi ini, literasi menjadi benteng terakhir untuk melawan disinformasi, hoaks, dan budaya instan. Maka dari itu, menumbuhkan ghairah literasi adalah investasi jangka panjang demi terwujudnya generasi yang cerdas, kritis, dan berdaya saing.
Ghairah ber-literasi adalah nyala api yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan.
Bagi Saya, Tekad Adalah Modal Utama dalam Menulis, Membicarakan kegiatan literasi, setidaknya tanpa disadari bagi kita perihal kegiatan tersebut sudah cukup lama dilakukan. Pada sekitar umur 3-5 tahun, sejatinya kita telah dikenalkan dengan yang namanya literasi baik oleh orang tua maupun guru-guru kita semasa sekolah TK. Setidaknya pada saat itu kita diajarkan dua hal berharga yaitu menulis dan membaca. Bahkan kedua aktivitas ini telah digeluti setiap harinya. Belajar membaca adalah pondasi literasi usia dini.
Begitupun belajar menulis dari huruf A-Z juga merupakan pondasi literasi yang cukup berarti. Yakinilah, dua hal yang kita pelajari dahulu itu sangat memberikan dampak yang sangat signifikan di masa mendatang Adapun perihal tingkat literasi Indonesia pada saat ini cukup mengecewakan.
Negara kita tengah menghadapi masalah serius dalam hal literasi. Menurut survei akhir-akhir ini, Indonesia berada pada peringkat bahwa dalam hal kemampuan membaca dan menulis. Menurut data UNESCO, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia.
Hal demikian bila direnung-renung, setidaknya masyarakat kita sangat memprihatinkan terkait indeks kegiatan literasi Ini berkisar 0,001%. Artinya dari 1000 orang masyarakat kita, hanya 1 orang yang rajin membaca dan menulis. Maka sebagai bentuk untuk menyemarakkan literasi, izinkanlah tulisan saya dapat memperkaya dan semoga memberikan pengetahuan kendatipun jauh dari kesempurnaan, terutama dalam hal tulis-menulis.
Sependek pengalaman saya terkait tulis-menulis, ada dua hal yang bagi saya perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana kita menyusun konsep kajian. Kedua, bagaimana kita membuat alur kepenulisan yang dapat dinikmati oleh pembaca. Keduanya adalah rentetan yang menurut saya sulit. Bahkan saya meyakini ini juga terjadi kepada para penulis kenamaan. Namun, barang kali bagi penulis pemula tidak perlu khawatir dengan dua kerumitan yang saya rasakan. Bagi saya, kalian cukup rajin menulis saja.
Ketika kita sudah mempunyai jam terbang tinggi dalam dunia tulis menulis, saya yakin dengan hal itu pula kebiasaan akan menjadi bisa. Karena menurut al-fakir bisa itu karena kita terbiasa melakukan hal-hal yang sering kita coba. Contohnya saja dalam ber-bahasa, bahasa yang kita tidak kita ketahui akan menjadi tau apabila kita serimg mendengarkan / berinteraksi langsung dengan lawan bicara yang berbeda bahasa dari kita, saperti kami pribadi yang sudah berada di lingkungan jawa mulai berdaptasi dengan bahasa yang ada step by step. Intinya tulis dulu! Jangan takut salah, salah urusan belakangan!.
Meneguhkan tekad itu dah cukup. Dan ingat menulis itu menurut al-fakir juga harus punya figure penulis yang patut dijadikan idola. Seperti hal nya saya termotivasi terhadap sosok figure penulis Pramoedya Ananta Toer, yang gaya penulisannya penuh akan serat makna seni di dalamnya. Dan ada juga kata-kata dari beliau yang membuat al-fakir aktif menulis hingga saat ini yang berbunyi ”AKU MENULIS UNTUK KEABADIAN”. Oaring boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang di dalam Masyarakat dan dari Sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian.
*) Penulis juga merupakan Mahasiswa Aktif Prodi Ilmu Komunikasi UI Jember, sekarang Aktif di HMI Komisariat Sunan Ampel Penulis Juga diamanahi Sebagai Ketua Umum Forum Mahasiswa Alasmalang (FORMA).