Oleh : Miftahul Jannah
(Pengurus PMII Rayon Averroes)
Jatim Aktual, Bondowoso. Belum lama ini seorang musisi sekaligus anggota DPR menyinggung masalah naturalisasi dalam rapat komisi X DPR RI bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga serta PSSI. pernyataannya menuai sorotan tajam karena dianggap tidak relevan dan merendahkan perempuan. Dalam argumennya, dia mengusulkan untuk
menaturalisasi pemain bola yang sudah diatas usia 40 tahun dan dinikahkan dengan perempuan Indonesia. Baginya anak dari pernikahan semacam ini bisa menjadi pemain sepak bola yang berkualitas. Bagaimana kesetaraan gender memandang hal tersebut? Lantas apakah perempuan hanya dijadikan alat?
Pernyataan tersebut bukan hanya menunjukkan pola pikir patriarki namun juga menunjukkan objektifitasi perempuan yang masih kental dalam negeri ini.
Objektifikasi adalah memandang wanita sebagai objek atau alat semata, bukan sebagai individu dengan hak dan pilihannya sendiri.
Objektifikasi perempuan adalah tindakan yang sangat mencerminkan kuatnya nilai patriaki.
Dalam wacana naturalisasi pemain sepak bola dengan pernikahan sebagai solusi. Perempuan seakan dilihat sebagai perantara agar proses tersebut lebih mudah. Pemikiran ini mencerminkan pandangan bahwa perempuan bisa dimanfaatkan demi kepentingan lain.
Konsep ini berkaitan dengan mitos Hainuwele dari Maluku dalam mitologi Nusantara. Dalam kisah tersebut, Hainuwele adalah seorang perempuan yanv memiliki kemampuan mengeluarkan benda-benda berharga, tetapi ketika keberadaannya dianggap mengganggu, dia malah dibunuh. Keberadaannya hanya dimanfaatkan selama menguntungkan, tanpa dihargai sebagai individu.
L
“Tubuh hainuwele terjebak dalam pola telekologis tertentu dimanipulasi demi suatu tujuan yang diinginkan.”
Penggalan ini menunjukkan bagaimana perempuan kerap kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri.
Jika pola pikir ini masih terus dibiarkan maka akan menanamkan perspektif negatif terhadap perempuan, seolah perempuan hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadi, tanpa memiliki hak atas dirinya sendiri.
Kesetaraan gender bukan hanya sekedar memberikan akses yang sama, namun juga bagaimana tentang menghormati perempuan dan memandangnya sebagai individu yang utuh.
We’re Somebody not Some Body!
Referensi :
Putri, K. A. Q., & Farha, A. (2022). Patriarki di Indonesia: Budaya yang Tak Kunjung Lekang. Diakses pada 9 Maret 2025, dari https://himiespa.feb.ugm.ac.id/patriarki-di-indonesia-budaya-yang-tak-kunjung-lekang/
Arivia, G. (2011). Merebut kembali kendali tubuh perempuan. Jurnal Perempuan, 71, 85-107.
Papadaki, E. (2020). Feminist perspectives on objectification. Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses pada 9 Maret 2025, dari https://plato.stanford.edu/entries/feminism-objectification/