Karya TulisNasional

Pelita Sukorejo: Menyuluh Jalan, Menyemai Harapan

Rifky Gimnastiar
×

Pelita Sukorejo: Menyuluh Jalan, Menyemai Harapan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Syamsul A Hasan

(Penulis buku Kiai Fawaid As’ad: Kepribadian, Pemikiran, dan Perilaku Politik)

Jatim Aktual. Di atas hamparan pasir yang kelak menjadi pondasi pesantren, seorang bocah kecil berlarian dengan ceria. Tangannya menggenggam butiran pasir, membentuk istana impiannya sendiri. Dengan mata berbinar, ia berseru, “Aku akan membangun pondok dan sekolah yang besar! Lebih besar dari milik Aba ini.”

Tak banyak yang mengira bahwa celoteh polos itu adalah janji masa depan. Bocah kecil itu adalah Ra Fawaid, yang kelak dikenal sebagai Kiai Fawaid, pemimpin kharismatik Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Nyi Fatimah, salah seorang khadam yang mengasuhnya, hanya menganggapnya sebagai angan-angan seorang anak. Namun, seiring waktu, kata-kata bocah itu terbukti bukan sekadar impian kanak-kanak. Ia tumbuh menjadi pemimpin besar yang membawa pesantrennya ke cakrawala baru.

Begitulah kesaksian Nyi Fatimah, sebagaimana tertuang dalam buku biografi Kiai Fawaid; Kiai Fawaid As’ad: Kepribadian, Pemikiran, dan Perilaku Politik.

Sebagai penerus perjuangan Kiai As’ad, Kiai Fawaid memiliki visi besar bagi santrinya. Baginya, santri bukan sekadar penuntut ilmu, tetapi juga kader pemimpin umat. “Santri-santri Sukorejo harus menjadi pemimpin umat. Tugas pesantren adalah mencetak kader pemimpin,” tegasnya.

Keberhasilan seorang santri, menurutnya, tidak hanya diukur dari seberapa tinggi ilmunya, tetapi dari seberapa besar ia mampu menerapkan dan mentransformasikan ilmu itu dalam kehidupan bermasyarakat.

Wasiat Kiai As’ad selalu menjadi kompas bagi langkah-langkahnya. Ia berpesan agar para santri kelak aktif dalam tiga hal: menangani lembaga pendidikan, berdakwah melalui Nahdlatul Ulama (NU), dan membangun perekonomian masyarakat. Ia sadar bahwa tidak semua santri akan menjadi kiai. Ada yang akan menjadi petani, pedagang, pejabat, atau profesi lainnya. Namun baginya, yang paling penting adalah bahwa mereka tetap berdakwah. “Santri saya bisa menjadi apa pun, yang penting mereka harus selalu berdakwah, berdakwah, dan terus berdakwah!” ucapnya penuh ketegasan.

Untuk menanamkan semangat ini, Kiai Fawaid sering menampilkan alumni Sukorejo dalam berbagai kegiatan pesantren. Dalam peringatan hari besar Islam, misalnya, penceramahnya sering kali berasal dari alumni sendiri. Para santri yang sukses di bidang politik pun diberi ruang untuk berbagi pengalaman, seperti Zaini Rahman (DPR RI), Adib (DPRD Jawa Timur), Masykuri, dan Hasanah Thahir (DPRD Situbondo). Mereka menceritakan perjalanan mereka, membakar semangat santri agar berani melangkah lebih jauh dalam perjuangan di masyarakat.

Kiai Fawaid juga membuka pintu lebar bagi santrinya yang ingin berkiprah di dunia politik. Ia mendorong mereka untuk menjadi pengurus di berbagai tingkatan, dari ranting hingga pusat. Baginya, politik bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan sarana dakwah dan perjuangan.

Dengan keteguhannya, ia berhasil menempatkan banyak alumni Sukorejo dalam berbagai posisi strategis, baik di tingkat daerah maupun nasional. Dalam setiap pemilihan, ia menganjurkan santri-santrinya untuk mendukung sesama alumni, agar semangat perjuangan pesantren tetap hidup di panggung pemerintahan.

Pada Jumat, 16 Rabiul Akhir 1433 atau 9 Maret 2012, Kiai Fawaid berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan perjuangannya tetap hidup. Bukan hanya bangunan pesantren yang kokoh, tetapi juga nilai-nilai yang ia titipkan kepada generasi penerusnya. Ia bukan sekadar pemimpin, tetapi pelita yang cahayanya terus bersinar, menerangi jalan bagi siapa pun yang ingin meneruskan perjuangannya.

Kini, saat haulnya kembali kita peringati, kita tidak hanya mengenang sosoknya, tetapi juga meneguhkan kembali ajarannya. Bahwa santri bukan sekadar murid, tetapi kader umat yang siap berjuang. Bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi benteng peradaban yang harus terus dijaga. Kiai Fawaid telah pergi, tetapi cahaya perjuangannya tak pernah padam. Ia tetap menjadi penerang bagi kita semua, membimbing langkah-langkah menuju masa depan yang lebih baik.

Kiai Fawaid, cahayamu tetap menyala, menyuluh jalan, dan menyemai harapan.

Sukorejo, 9 Maret 2025