NasionalPemerintahanPolitik

Muhaimin Iskandar : Ressurection

Avatar
×

Muhaimin Iskandar : Ressurection

Sebarkan artikel ini

Di persimpangan jalan politik Indonesia, ada nama yang terus bergema dengan daya lenting yang tak biasa: Muhaimin Iskandar. Cak Imin, begitu ia akrab disapa, bukan sekadar seorang politisi. Ia adalah seorang seniman dalam gelanggang kekuasaan—dengan gerak yang lincah, naluri yang tajam, dan kesabaran yang menyerupai seorang santri menekuni kitab kuning di pesantren.

 

Darah politiknya mengalir dari para pendahulu yang mengakar kuat dalam tradisi Nahdlatul Ulama. Sebagai cicit KH Bisri Syansuri, ia lahir dengan nuansa pesantren yang pekat—sebuah warisan yang bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi juga modal yang terus ia putar dalam strategi politiknya. Dari aktivisme di PMII hingga kepemimpinan di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin menjahit jalannya sendiri. Ia paham betul cara meniti kekuasaan tanpa tergelincir ke dalam lubang fanatisme yang sempit.

 

PKB, di tangannya, bukan hanya partai tradisional, tetapi instrumen politik yang dimainkan dengan kelihaian seorang maestro. Ia menjaga keseimbangan: antara tradisi dan modernitas, antara kepentingan partai dan realitas politik yang bergerak cepat. Ia tidak segan bernegosiasi dengan Prabowo, tetapi juga dapat berbicara dalam bahasa Anies Baswedan. Ia tahu kapan harus merapat, kapan harus menjaga jarak.

 

Cak Imin juga wartawan, atau setidaknya pernah menjadi bagian dari dunia itu. Ia paham bagaimana membingkai narasi, bagaimana menyampaikan gagasan dengan ketukan yang pas. Itu sebabnya, meski sering dianggap pragmatis, ia tetap diterima di berbagai poros politik. Ia lebih mirip seorang dirigen yang memahami bahwa dalam politik, yang terpenting bukan hanya suara keras, tetapi harmoni.

 

Lalu, pasca Pilpres 2024, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Cak Imin mengalami semacam *resurrection*—kebangkitan politik yang tak terduga. Ia, yang selama ini lebih banyak bergaul dengan kalangan pesantren dan elite partai, tiba-tiba menemukan dirinya dicintai oleh kelompok yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kalangan muda menyukainya karena gaya komunikasinya yang santai dan jenaka. Emak-emak menggemarinya karena ia terlihat sebagai sosok yang setia pada istri, sabar, dan tak banyak tingkah. Juga kalangan pecinta drakor tertawa gemas tatkala cak imin mengenakan seragam loreng yang nampak kedodoran, pecinta drama korea kerap menyamakan cak imin dengan tokoh menggemaskan di layar kaca negeri gingseng itu

 

Cak imin tak hanya bertahan, ia berevolusi. Ia mengerti bahwa politik hari ini bukan hanya tentang orasi di podium atau negosiasi di balik layar. Politik, di era digital dan serbacepat ini, adalah tentang bagaimana seseorang bisa menjadi cerita yang terus diceritakan. Dan Muhaimin Iskandar, dengan segala kelincahannya, tampaknya telah menemukan cara untuk tetap relevan dalam babak baru perjalanan politik Indonesia.

Oleh : AS Putra