Oleh : Rifky Gimnastiar*
(Sebuah karya hasil refleksi dinamika pelaksanaan Konferensi Cabang (KONFERCAB) XIV PC. PMII Bondowoso dan tulisan ini kami hadiahkan untuk para senior yang telah mempleser kami habis-habisan hanya atas kepentingan sesaat dan tidak memperhatikan kondisi kami yang nyaris diintimidasi fisik fatal hingga kondisi tak normal”
Jatim Aktual, Essai. Dalam dinamika organisasi mahasiswa, sering kali kita mendapati pola interaksi yang menyerupai sistem feodalisme. Sistem ini ditandai dengan hierarki kekuasaan yang kaku, di mana posisi senioritas menjadi pusat legitimasi otoritas. Senioritas tidak hanya dianggap sebagai tolak ukur pengalaman, tetapi juga sebagai “hak istimewa” yang menentukan siapa yang memegang kendali, siapa yang boleh bersuara, dan siapa yang harus tunduk.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti dalam feodalisme klasik, “para senior” sering dianggap sebagai penguasa, sementara anggota baru diperlakukan seperti vasal yang harus loyal dan patuh tanpa banyak bertanya. Dalam beberapa kasus, mahasiswa baru diwajibkan mengikuti tradisi yang terkadang tidak relevan, bahkan merugikan, dengan alasan “melestarikan nilai-nilai organisasi.” Sistem ini membangun relasi yang didasarkan pada ketakutan, alih-alih rasa hormat, sehingga membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat.
Kelemahan sistem ini terletak pada minimnya ruang bagi inovasi. Ketika suara-suara kritis dianggap sebagai bentuk pembangkangan, organisasi kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Alih-alih membangun budaya kolektif yang sehat, organisasi justru terjebak dalam siklus kekuasaan yang mengakar.
Namun, kritik terhadap sistem senioritas ini tidak berarti menghapuskan nilai pengalaman para senior. Justru, yang dibutuhkan adalah transformasi budaya organisasi yang lebih inklusif, di mana senioritas menjadi sumber inspirasi, bukan alat dominasi. Ketika relasi antaranggota didasarkan pada kolaborasi dan penghargaan yang setara, organisasi mahasiswa akan mampu menjadi ruang pengembangan yang sehat, inovatif, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda.
Dengan menantang “feodalisme modern” ini, kita membuka peluang untuk menciptakan organisasi yang tidak hanya demokratis, tetapi juga mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang kritis, adaptif, dan berintegritas.
Jika Soe Hok Gie Aktifis Muda kala itu diera proklamasi mengatakan bahwasannya “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah dan Guru bukanlah Dewa dan selalu benar. Dan murid bukanlah kerbau” maka “Senior bukanlah Tuhan yang harus kita sembah sebagai bentuk rasa Thuma’ninah dalam berproses tapi senior jugalah manusia yang memiliki pengalaman lebih paham terkait organisasi yang digelutinya bukan berarti junior tidak punya hak menolak terkait sikap intervensi yang diberikannya”
Peradaban (yang baik) dibentuk oleh literasi (proses berpengetahuan) bukan sekedar doktrinasi yang mengarah terhadap kepercayaan atau mempengaruhi atau membengkokkan keteguhan prinsip belaka.
Wiji Thukul juga pernah diintimidasi secara fisik dalam proses perlawanannya kepada pemerintah pada masanya hanya karena pemerintah tidak berhasil mereaksi pendapat Wiji Thukul. Seharusnya kita sebagai sesama aktifis juga sadar meski berbeda angkatan atau masa kepengurusan dalam organisasi bahwasannya hal seperti ini adalah sebuah media berfikir agar pergerakan kita tidak kotor hanya karena kedangkalan pengetahuan kita, lebih baik diam jika tindakan yang dilakukan akan membangun suatu Mafsadat yang luar biasa efeknya.
Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya, sekalipun berjasa ia tak memiliki hak untuk turut memaksa agar masa itu sama atau paling tidak menyamai. Kita bersama harus paham terkait icon “Masa Khidmah” yang lebih bertujuan agar memandirikan generasi dalam urusan prinsipnya tetapi dalam urusan Culture Kekeluargaan Kita tetap berkesinambungan sebagai bentuk rasa partisipatif dan media mempererat antar emosionalitas.
Mungkin dengan tulisan ini kita bersama dapat merefleksi segala yang seharusnya kita sadari bahwa segala bentuk intervensi negatif yang kita terima akan memperburuk suatu kondisi dihari nanti jika kita tidak terlebih dahulu meliterasikan segala hal yang terjadi.
Salam Tangan Kiri, Salam Pergerakan !
Catatan Kaki : Kasus yang menimpa kami pada Selasa, 22 Januari 2025 di Graha PMII Bondowoso sebagai serangan fisik, mental & ancaman dari atasan juga serangan-serangan yang bersifat sikap intervensi negatif yang terus-menerus kita rasakan hingga hari ini Sabtu, 25 Januari 2025 dari beberapa lapisan senior.
* : Penulis merupakan Ketua PMII Rayon Averroes Komisariat RBA IAI At-Taqwa Bondowoso Masa Khidmah 2024/2025 juga sebagai Peserta Konferensi Cabang (KONFERCAB) XIV PC. PMII Bondowoso