Hukum

Kisah Tragis, Seorang Ayah yang di Laporkan Oleh Anak Kandungnya Terkait Harta Warisan

Avatar
×

Kisah Tragis, Seorang Ayah yang di Laporkan Oleh Anak Kandungnya Terkait Harta Warisan

Sebarkan artikel ini
Gambar Ilustrasi

Jatim Aktual, Sumenep – Di ujung timur pulau Madura digemparkan kasus yang mengoyak nilai-nilai keluarga. Seorang ayah asal warga Gapura, yang telah berjuang keras untuk membangun masa depan keluarganya, kini menghadapi kenyataan pahit.

Sebab Anak kandungnya, yang telah beliau rawat semenjak anak-anak hingga dewasa, pada kenyataannya saat ini malah melaporkan dirinya ke pengadilan atas sengketa tanah keluarga. Ayah itu berharap agar anaknya segera bertobat dan kembali pada nilai-nilai kebaikan.

Kisah tersebut bermula pada tahun 1975, ketika seorang ayah yang mulai menggarap lahan negara seluas 21 hektar. kemudian lahan yang dulunya lahan tidur, diubah menjadi lahan produktif berkat kerja keras dan ketekunannya. Pada tahun 2009, ketika ayah itu memiliki cukup dana untuk mengurus legalitas lahan tersebut, ia memutuskan untuk mengurus sertifikat dan membagi-bagikan tanahnya kepada anggota keluarganya.

Keputusan tersebut diambil tentu untuk mencegah konflik di masa depan. Ia membagi tanahnya menjadi beberapa bagian, di mana 7 hektar atas nama dirinya sendiri, 8 hektar atas nama istrinya yang telah meninggal, 3 hektar atas nama anak laki-laki tertua, dan 3 hektar lainnya untuk Mojono, anak yang baru saja menyelesaikan pendidikan dibangku kuliah dan belum sepenuhnya mandiri pada waktu itu. Selain itu, ada juga saudara perempuannya yang mendapatkan tanah di tempat lain seluas 2 hektar.

Namun, masalah mulai muncul ketika Mojono, yang dianggap sebagai harapan keluarga karena pernah mengenyam pendidikan sarjana, mulai bertindak berbeda. Tanah atas nama almarhum ibunya yang seluas 8 hektar dijual oleh Mojono tanpa persetujuan penuh dari keluarga. Pembagian hasil penjualan tersebut pun dianggap tidak adil. Tak hanya itu, tanah atas nama dirinya sendiri juga dijual oleh Mojono, menambah luka bagi keluarganya.

Puncak dari persoalan ini terjadi ketika Haji Rahmat menjual sebagian haknya, yakni 4 hektar tanah miliknya sendiri. Mojono, yang seharusnya menghormati keputusan ayahnya, justru menggugat Haji Rahmat secara perdata di Pengadilan Negeri Sumenep. Gugatan ini tidak hanya ditujukan kepada Haji Rahmat, tetapi juga kepada saudara-saudaranya yang dijadikan tergugat.

Kasus ini masih berjalan hingga sekarang, menciptakan kegemparan di masyarakat Sumenep. Banyak orang yang terkejut dengan tindakan Mojono, mengingat Sumenep adalah daerah yang dikenal dengan budaya yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap orang tua. Ini mungkin menjadi salah satu kasus pertama di daerah tersebut, di mana seorang anak menggugat ayah kandungnya sendiri di pengadilan.

Namun, pada akhirnya perseteruan muncul dan tidak berhenti di ranah perdata. Kabarnya perseteruan itu sudah masuk keranah hukum, atas tuduhan dugaan pemalsuan terkait 4 hektar tanah. Namun tuduhan tersebut tidak berdasar, karena tidak ada unsur tindak pidana yang terjadi.

Ayah itu kemudian mengingatkan bahwa dalam hukum, sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 1956 Pasal 1, ketika ada objek perkara perdata yang sedang diproses di pengadilan, maka perkara pidana harus ditangguhkan hingga perkara perdata tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.

Di tengah konflik ini, tentu sesosok ayah hanya bisa berharap kepada anaknya agar segera bertobat dan berhenti dari tindakannya yang dianggap durhaka. “Menang jadi arang, kalah jadi abu,” ungkapnya dengan penuh harapan agar keluarganya dapat kembali hidup dalam damai. Baginya, perselisihan ini tidak hanya merusak hubungan keluarga, tetapi juga melukai hati dan harga diri sebagai seorang ayah.

Kasus ini terus menyedot perhatian publik, terutama karena nilai-nilai keluarga yang dipertaruhkan. Harapannya, kebenaran segera terungkap dan anak yang pernah ia harapkan sebagai penerus keluarga, dapat menyadari kesalahannya dan kembali menjunjung tinggi rasa hormat terhadap orang tua serta keluarganya.