Jatim Aktual- Bulan Agustus merupakan bulan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada momen agustusan inilah biasanya masyarakat menyambut lalu merayakannya dengan penuh kegembiraan.
Pada bulan ini biasanya masyarakat menyebutnya dengan istilah Agustusan atau tujubelasan. Istilah ini membumi; tidak lain karena saking banyaknya kegiatan yang diselenggarakan dibulan tersebut. Mulai dari Upacara, lomba-lomba bahkan yang lazim saat ini adalah kirab budaya atau dalam istilah kekiniannya biasa disebut Karnaval.
Sebagai satu simbol kegembiraan, di seluruh lapisan bawah masyarakat dari Sabang hingga Merauke tidak luput untuk merayakan tujubelasan dengan berbagai kegiatan. Salah satunya yang dilaksanakan oleh Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi.
Desa yang secara geografis berada diujung barat kabuapaten Banyuwangi ini rata-rata masayatakatnya adalah petani. Terkhusus peteni kopi. Tujuh belasan tahun ini, desa Kebonrejo menyelenggarakan karnaval. Seluruh lapisan masyarakat boleh terlibat, tak terkecuali lembaga pendidikan. (31/08/24).
Ada yang unik dari salah satu peserta karnaval tersebut, biasanya lazim joget-joget pargoy dengan iringan sound system, ada sekumpulan anak-anak muda RT/RW 03/04 desa setempat yang tergabung dalam Maharadja Zapin Nusantara.
Kelompok ini banyak menarik perhatian penonton, bagaimana tidak, mereka menampilkan tarian Zapin dari Arab tapi tidak meninggalkan nilai tradisional keindonesiaan. Seni tari ini ditampilkan juga dalam rangka melestarikan, mengingat tarian ini sudah hampir ditinggalkan oleh banyak kalangan.
Zapin sendiri merupakan sebuah tarian tradisi Arab yang dibawa dari Yaman oleh para pedagang sebagai hiburan para raja-raja di istana kala itu. Tarian ini erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam yang terjadi kala itu.
Meski berasal dari Arab, kelompok yang menamakan dirinya sebagai Maharadja Zapin Nusantara ini tetap tidak meninggalkan adat-istiadat yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, justru mereka malah memadukan tarian Arab dengan tradisi Nusantara.
Hasan Abdilah selaku koordinator menyampaikan bahwa cara merawat nasionalisme adalah; harus meletakkan terlebih dahulu dalam diri kita bahwa agama dan budaya adalah satu kesatuan yang harus terus berjalan beriringan.
“Agama dan kubudayaan tidak boleh terpisah. Ia satu kesatuan yang harus terus dirawat dan diarifi. Dan cara pandang inilah dasar-dasar nasionalisme yang dulu digemakan oleh para pendahulu dalam merebut kemerdekaan.”, ujarnya.
Keunikan lainnya tak sekedar pada tampilah khazanah tarinya saja, tampilan kostumnya pun juga sangat sederhana tapi kaya makna.
Kepada Jatim Aktual, Hasan Abdilah menambahkan, meski tarian ini dari arab kami sama sekali tidak menggunakan pakaian layaknya arab, justru yang kami kenakan adalah sarung komplit dengan songkok nasional layaknya santri.
“Ini suatu pesan khazanah kesederhanaan sebagaimana kiai-kiai dan santri kala itu, suatu khazanah Islam-Indonesia yang patut bahkan wajib kita banggakan, bukan?”. Terang Mas Dila sapaan akrabnya.