TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Bullshit dengan Kemapanan

Avatar

Jatim Aktual, Opini – Orang Indonesia terkenal dengan budaya basa-basinya yang sangat melegenda. Basa-basi menjadi andalan untuk memulai sebuah obrolan. Sayangnya, basa-basi ini kadang kelewat batas. Sehingga menyakiti hati orang yang ditanya. Ya, kalimat basa-basi yang tanpa disadari bisa menyinggung perasaan orang lain.

Mungkin kita pernah berada pada kondisi di mana pertanyaan-pertanyaan ini sangat sensitif ketika kita menerimanya. Misalnya, lulus SMA kuliah dimana? Lulus kuliah kerja di mana? Udah kerja kapan nikah?.

Pertanyaannya, kita ada di mana saat itu? Yakin kita masih ada di dunia ini? Kita akan bertemu suatu masa, di mana semua pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut sama sekali tak menganggu pikiran kita. Suatu saat kita akan menyadari, bahwa segala yang kita kejar selama ini, ternyata tak penting-penting amat untuk digapai.

Manusia dilahirkan membawa fitrah yang suci. Sebelum akhirnya pikirannya dikacaukan oleh berbagai pesan dari lingkungannya yang memaksa mereka untuk menerima “kesepakatan kolektif” bahwa yang disebut sebagai orang sukses adalah yang gajinya besar, saldo di rekeningnya banyak, punya banyak gelar akademis, rumahnya megah serta berbagai ukuran materialistik yang lain.

Dulu saat kecil kita tidak punya perasaan inferior saat berteman dengan orang yang lebih kaya dari kita. Tidak juga merasa lebih hebatnsaat bermain dengan orang yang lebih miskin dari kita. Kita bermain dengan mereka tanpa peduli standar ekonomi dari masing-masing keluarga kita. Tetapi fitrah itu perlahan dirusak oleh paparan kehidupan sosial yang seolah ada gap bahkan kategorisasi kaya dan miskin, sultan dan jelata.

Seseorang sangat identik dengan kemapanan finansial kenapa? Karna banyak yang percaya bahwa kemapanan finansial menjadi syarat utama untuk bisa selesai dengan diri sendiri. Kalau finansial sudah mapan, tidak merepotkan siapa pun, maka saat itulah seseorang dianggap sudah selesai dengan diri sendiri.

Beberapa waktu lalu, Bill Gates, tokoh yang bertahun-tahun menjadi manusia terkaya di dunia, menggelar sesi AMA (Ask Me Anything) di sebuah forum online.

Di sesi itu ada pertanyaann yang menarik dan akhirnya terpilih sebagai salah satu pertanyaan yang dijawab oleh Bill Gates. “Apakah menjadi orang kaya telah membuat anda Bahagia dari pada Anda menjadi orang kelas menengah?”
Bill Gates menjawab, “Ya, saya tidak perlu khawatir memikirkan masalah biaya Kesehatan atau Pendidikan.”

Namun ia menekankan bahwa sumber kebahagiaan bukanlah berasal dari uang semata. Banyak hal sederhana dalam hidup yang bisa menghadirkan Bahagia setiap saat. Misalnya melihat anak-anak kita berhasil, sebagai orangtua pasti merasa Bahagia. Atau ketika kita bisa berkomitmen terhadap sesuatu yang ingin kita capai. Itu pun bisa menjadi sumber kebahagiaan.

Maka tak salah jika ada Sebagian besar orang yang mengejar kemapanan ekonomi terlebih dahulu agar hidupnya mandiri. Setelah urusan diri terpenuhi, ia bisa leluasa berbuat banyak bagi kepentingan orang lain.

Namun yang jadi pertanyaan, apakah kemapanan finansial selalu menjanjikan kualitas selesai dengan diri sendiri? Nyatanya tidak selalu demikian. Lihatlah, tak sedikit orang kaya yang target hidupnya tidak pernah lepas dari usaha mengayakan diri dan anak keturunannya semata, tidak kunjung meluaskan kontribusi bagi sebanyak mungkin sesama.

Tak sedikit orang kaya, tetapi mentalnya miskin. Misal, ia sebenarnya sudah memiliki materi yang cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan lebih-lebih, tetapi tetap serakah mengumpulkan harta, bahkan tidak peduli untuk melakukan hal-hal yang memalukan atau merusak nama baiknya. Menjadi koruptor, penipu, curang dalam bisnis, dan sejenisnya. Inilah contoh orang kelihatannya kaya, tetapi hakikatnya ia bermental miskin.

Tak jarang pula orang miskin, tetapi memiliki mental kaya. Ia sangat menjaga reputasinya. Ia bekerja dengan jujur dan penuh dedikasi. Jangankan harta haram, yang masih meragukan saja sangat dijauhinya demi menjaga kesucian rezeki yang dibawanya pulang, untuk anak istrinya. Bahkan dengan penghasilan yang bagi sebagian orang tak seberapa, ia dengan ikhlas menyisihkan sebagian untuk disedekahkan.

Ciri orang yang selesai dengan diri sendiri adalah memiliki mental memberi yang sangat kuat. Orang miskin yang dermawan lebih kaya daripada orang kaya yang pelit. Jutawan yang suka memberi lebih kaya daripada miliader yang pelit.

Untuk selesai dengan diri sendiri tidak selalu melewati jalan kemapanan finansial. Sebab dalam diri manusia terkadang ada sikap tamak. Meskipun sudah memiliki harta yang cukup untuk menghidupi keluarganya 7 turunan, bisa jadi ia tidak akan pernahpuas dengan semua yang dikaruniakan allah tersebut.
Orang yang tamak berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan yang ada di tangan orang lain. Tidak akan pernah muncul kata puas, tidak akan hadir kata cukup dalam hidupnya. Ia tidak ingin ada orang lain yang menyainginya atau melebihinya dalam hal apa pun.

Rasulullah bersabda, “andai kata seseorang telah memiliki dua lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada”.

Itulah sebabnya selesai dengan diri sendiri adalah sikap yang tidak selalu berhubungan dengan kemapanan ekonomi seseorang. Yang kita latih adalah otot syukur kita. Sebeb tanpa syukur, selamanya perut ambisi kita tak akan pernah kenyang.

* Oleh: Ana Nur Jannah santri Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia Universitas Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi